Semarang - Polda Jateng membongkar peredaran alat rapid test antigen ilegal. Awal mula terungkapnya kasus ini ternyata dari pasien klinik yang memprotes hasil rapid test antigen yang dijalaninya tak akurat.
"Berawal dari pasien klinik yang komplain setelah melaksanakan swab rapid test ternyata hasil tidak akurat. Diketahui setelah yang bersangkutan mengecek di klinik yang lain. Komplain ke pihak klinik," ujar Kasubdit I Indagsi Ditreskrimsus Polda Jateng AKBP Asep Mauludin kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (6/5/2021).
Pihak klinik kemudian memberikan informasi kepada polisi terkait komplain itu pada akhir Januari 2021. Polda Jateng kemudian melakukan undercover buy produk yang sama. Kemudian ketika dua kurir mengantarkan barang pesanan, diperolehlah barang bukti pertama.
"Tersangka SPM dibantu oleh kurir, orang yang diperbantukan. Mereka jadi saksi dalam kasus ini," ujarnya.
Polisi akhirnya menyita 450 pak barang bukti alat kesehatan ilegal di sebuah rumah di kawasan Kwaron, Bangetayu, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
"Dia sewa rumah di Bangetayu, kemudian untuk gudang barang yang akan diedarkan," ujarnya.
Tersangka SPM merupakan sales dan distributor wilayah Jawa Tengah dengan menyasar perorangan dan pelayanan kesehatan. Konsumen alat rapid test ilegal yang tidak mengetahui soal tindakan SPM karena saat awal pembelian, SPM juga menawarkan alat yang memiliki izin edar.
"Modus yang dilakukan tersangka dalam menawarkan barang ini ditawarkan melalui online. Jadi yangg bersangkutan menawarkan, dia memiliki alat kesehatan rapid test yang memiliki izin edar. Maka konsumen tertarik membeli barang dari tersangka. Dalam pelaksanaannya selain menawarkan yang sudah memiliki izin edar, dia juga bawa barang lain sejenis yang tidak memiliki izin edar," jelas Asep.
"Pembeli tidak mengetahui barang yang ditawarkan tersangka ternyata tidak memiliki izin edar," imbuhnya.
Pelaku bisnis alat rapid test antigen ilegal ini dijerat pasal 197 UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan sebagaimana diubah dalam pasal 60 angka 10 UU Cipta Kerja dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda 1,5 miliar. Kemudian untuk UU Perlindungan Konsumen, dia dijerat dengan pasal 62 ayat 1 dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar. (sip/ams/detik)