Jakarta - Pengusaha Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, ditetapkan sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sjamsul Nursalim disangka merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun.
"Dikarenakan tersangka SJN (Sjamsul Nursalim) diduga sebagai pihak yang diperkaya Rp 4,58 triliun dalam kasus korupsi ini, maka KPK akan memaksimalkan asset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara," ujar Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers di gedung KPK, Jl Kuningan Persada, Senin (10/6/2019).
Berikut ini konstruksi perkara kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istri:
- Pada 21 September 1998, BPPN dan Sjamsul Nursalim menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
- Dalam MSAA tersebut, disepakati BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul Nursalim sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab menyelesaikan kewajibannya, baik secara tunai maupun berupa penyerahan aset.
- Jumlah kewajiban Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali (PSP) BDNI adalah Rp 47,258 triliun.
- Kewajiban tersebut dikurangi aset sejumlah Rp 18,850 triliun, termasuk di antaranya pinjaman kepada petani/petambak sebesar Rp 4,8 triliun.
- Aset senilai Rp 4,8 triliun ini dipresentasikan Sjamsul Nursalim seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah.
- Namun setelah dilakukan Financial Due Diligence (FDD) dan Legal Due Diligence (LDD), disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
- Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi dan meminta Sjamsul Nursalim menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut. Namun Sjamsul Nursalim menolak.
- Pada Oktober 2003, agar rencana penghapusbukuan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul Nursalim yang diwakili istrinya, Itjih Nursalim, serta pihak lain. Pada rapat tersebut, Itjih Nursalim menyampaikan Sjamsul Nursalim tidak melakukan misrepresentasi.
- Pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas (ratas) yang intinya BPPN melaporkan dan meminta Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan white off (dihapusbukukan) namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul Nursalim. Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan white off dari BPPN.
- Setelah melalui beberapa proses, meskipun ratas tidak memberikan persetujuan, pada 12 April 2004 Syafruddin Arsyad Temenggung dan Itjih Nursalim menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir yang pada pokoknya berisikan: pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur MSAA.
- Pada April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat nomor SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipasena menjadi hilang atau hapus.
- Pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisi hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA).
- Pada 24 Mei 2007, PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp 220 miliar. Padahal nilai kewajiban Sjamsul Nursalim yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun.
Jadi diduga kerugian keuangan negara yang terjadi sebesar Rp 4,58 triliun.
KPK menjelaskan, selama proses penyidikan sejak 13 Mei 2019, KPK memeriksa 3 saksi dari pihak swasta. KPK juga mengingatkan para tersangka agar bersikap kooperatif dalam proses hukum ini. (fdn/fdn/detik)