Jakarta - Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno telah mendeklarasikan diri sebagai capres dan cawapres. Apa yang menjadi plus minus dari kedua pasangan ini?
Pengamat Politik CSIS Arya Fernandes menilai pasangan Prabowo-Sandiaga mempunyai keuntungan. Sandiaga dinilai elite politik dan generasi baru dari kalangan pengusaha.
"Plusnya saya kira, Sandi membawa suatu pembaharuan politik dan komposisi pasangan calon ini. Dia (Sandiaga) membawa generasi baru, elite politik Indonesia dari kalangan pengusaha profesional yang memilih masuk politik praktis, Wagub DKI," ucap Arya kepada wartawan, Jumat (10/8/2018).
Selain itu, Arya menyebut Sandiaga mudah beradaptasi dengan pemilih milenial. Sandiaga juga dinilai mudah memahami karakter pemilih pemula.
"Kemudian karena memiliki elite politik yang baru, dia mudah beradaptasi dengan perubahan politik yang terjadi misal meningkatnya pemilih milenial. Jadi, karena dia lahir dari generasi baru, ia akan mudah beradaptasi dengan pemilih milenial. Kemudian dia juga memahami karakter pemilih muda," jelas Arya.
Lebih lanjut, ia menilai Prabowo akan mengubah narasi kampanye tanpa menyinggung keagamaan. Sebab, Jokowi mempunyai pasangan tokoh agama KH Ma'ruf Amin.
Selain itu, tiga koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga mempunyai pengalaman di Pilkada serentak. Elite politik mereka di daerah sangat solid.
"Dukungan parpol 3 ini memiliki pengalaman dalam koalisi tingkat lokal misal Jawa Barat, Kalimantan dan lainnya. Mereka punya pengalaman dalam koalisi elite tingkat lokal sudah punya pengalaman melakukan kampanye, mereka soliditas tinggi," jelas Arya.
Minus Prabowo-Sandiaga, Arya menilai pasangan ini harus bisa mengubah narasi kampanye. Termasuk penamaan koalisi partai politik yang tidak menggunakan keagamaan.
"Kalau narasi masih tentang agama misalnya dimulai penamaan koalisi, kalau gunakan narasi agama tidak akan efektif. Karena Jokowi narasi agama lebih kuat, Pak Ma'ruf keagamaan lebih kuat," jelas Arya.
Terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf, Arya menilai ada kekhawatiran dalam isu keagamaan. Sehingga Jokowi memilih Ma'ruf dalam Pilpres 2019.
"Sebelum masa penetapan ini saya melihat ada kekhawatiran Pak Jokowi terkait isu keagamaan. Jadi Jokowi khawatir isu politik identitas akan menggerus suaranya, kekhawatiran itu kemudian diterjemahkan dengan pertemuan elite ormas Islam dan roadshow pesantren," ucap Arya.
Di sisi lain, Arya mengatakan Jokowi mempunyai kekhawatiran politik identitas sejak aksi 212. Adanya KH Ma'ruf Amin, maka Jokowi tidak mudah diserang dengan isu negatif atau politik identitas.
"Jokowi sejak aksi 212 khawatir adanya politik identitas makanya Pak Ma'ruf selain karena adanya usaha Jokowi akomodasi kepentingan parpol, ada parpol tidak sepakat Mahfud tapi cara Jokowi agar isu negatif berbasis politik identitas tidak ampuh bisa menyerang Jokowi," tutur Arya.
Minus terhadap Jokowi-Ma'ruf, Arya menjelaskan adanya tantangan baru pasangan ini jika Prabowo tidak menggunakan narasi agama. Apabila Prabowo mengubah narasi kampanye, maka Ketum MUI itu tidak diperhatikan pemilih.
"Kalau Prabowo merubah narasi kampanye, tentu posisi Ma'ruf kurang diperhatikan pemilih," kata Arya.
Selain itu, Arya menyebutkan partai politik Jokowi-Ma'ruf akan lebih fokus pemilu legislatif daripada Pilpres. Sedangkan partai politik pengusung Prabowo-Sandiaga akan fokus Pilpres karena mesin partainya sudah solid.
"Selain itu adalah mesin parpol karena ini diusung banyak parpol misal di PDIP, parpol akan fokus pemilu legislatif. Dari sisi Prabowo akan solid memenangkan Pilpres karena posisi elektoral masih jauh dan mesin parpol akan solid," tutur dia. (fai/haf/detik)