Jakarta - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) masih berada di level Rp 14.000. Merosotnya nilai rupiah juga memberi dampak negatif dalam sejumlah hal, salah satunya meningkatkan APBN.
Menurut anggota Komisi XI DPR RI, Amir Ukasara, nilai tukar rupiah ditetapkan Rp 13.400/US$ pada APBN. Maka dengan nilai tukar saat ini berkisar Rp 14.000/USD, anggaran belanja negara yang menggunakan dollar AS dipastikan akan semakin membengkak.
"Untuk pembayaran utang luar negeri dan subsidi saja diperkirakan ada pergeseran sekitar kurang lebih Rp 10 triliun," kata Amir, dalam keterangan tertulis, Kamis (24/5/2018).
Amir melihat penurunan nilai tukar ini juga akan berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat jika berlangsung cukup lama. Saat ini penurunan daya beli tersebut memang belum terlihat, namun lambat laun akan terasa.
Ia juga berharap Bank Indonesia maupun Kementerian Keuangan akan melakukan langkah-langkah yang efektif untuk lebih menstabilkan nilai tukar rupiah, baik di bidang moneter maupun fiskal.
"Di bidang moneter, Bank Indonesia beberapa hari lalu telah menaikkan suku bunga 24 basis poin menjadi 4,50. Kenaikan suku bunga ini sudah tepat dilakukan untuk merespon penurunan nilai tukar rupiah," ujar politisi PPP tersebut.
Selain langkah moneter yang dilakukan BI, Amir meminta pemerintah melakukan langkah di bidang fiskal. Dalam menentukan kebijakan, pemerintah perlu melihat sejumlah faktor, misalnya negara perdagangan Indonesia, pendapatan negara dari pajak dan lainnya.
"Saya yakin pemerintah lebih mengetahui apa langkah yang harus mereka lakukan di sektor fiskal agar nilai tukar rupiah bisa lebih stabil," jelas Amir.
Terpisah, Ekonomi Fuad Bawazier meminta kepada pemerintah untuk tidak lagi menyalahkan kondisi global ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Fuad menyebut inti melemahnya rupiah adalah suplai dolar atau pemasukan dolar ke ekonomi Indonesia lebih kecil dari permintaan atau kebutuhan akan dolar, maka rupiah melemah. Artinya, menurut dia ini terjadi karena defisit transaksi berjalan Indonesia tahun ini diperkirakan US$ 25 miliar.
"Defisit atau ketekoran inilah sumber utama melemahnya rupiah terhadap dolar. Jadi jangan bingung atau terus menerus menyalahkan ekonomi global dan sebagainya," kata Fuad dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
Dia menjelaskan, defisit transaksi berjalan terjadi karena neraca perdagangan masih mengalami defisit, begitu juga dengan neraca transaksi jasanya.
Lebih lanjut Fuad memaparkan, pemerintah saat ini coba menutupi defisit valas ini dengan banyak cara antara lain dengan menarik utang valas atau hot money lainnya. Menurut dia, langkah tersebut bukan cara yang sehat dan bahkan bisa semakin terjerumus.
"Fundamental ekonomi yang lemah ini juga diikuti dengan defisit APBN. Jadi praktis ekonomi Indonesia ini defisit atau tekor dari semua jurusan. Utang valas pemerintah dan swasta termasuk BUMN yang konsisten naik tajam juga mulai mengkhawatirkan kreditur pada umumnya bahwa jangan-jangan ke depannya Indonesia akan kesulitan atau gagal bayar utang," ujar dia.
Tidak hanya itu, kata Fuad, pihak pasar juga melihat ketergantungan ekonomi Indonesia pada barang impor terutama pangan dan energi, mau tidak mau akan membutuhkan valas.
Rupiah Diramal Bakal Terus Melemah
Nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diramalkan terus mengalami pelemahan, meskipun kemarin (29/6/2018) menguat ke level terendahnya Rp 14.291.
Pengamat Ekonomi Fuad Bawazier mengatakan, penguatan rupiah usai diumumkannya kenaikan suku bunga 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 50 basis point (Bps) hanya berlaku sementara saja.
"Saya sudah berkali-kali mengingatkan dan menuliskan bahwa sepanjang tahun 2018 ini rupiah cenderung akan melemah. Mungkin saja ada waktu-waktu tertentu rupiah seperti menguat tetapi itu hanya sementara saja dan selanjutnya akan melemah lagi," kata Fuad dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (30/6/2018).
"Jadi kalau ditarik garis lurus atau berjangka relatif panjang, per gerakan rupiah akan terus melemah," tambah dia. (detik)