Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
copyright . 2015 @ majalahbuser.com
Jakarta - Cerita soal jenazah seorang nenek bernama Hindun yang tak disalatkan di musala jadi sorotan. Keluarga merasa Hindun ditolak disalatkan karena merupakan pendukung Ahok. Benarkah?

Sunengsih (46), putri Hindun, menuturkan ibunya meninggal Selasa (7/3) lalu. Dia menuturkan, setelah memandikan jenazah di rumah, dirinya lalu menghubungi pengurus musala Al Mu'minun yang berada di dekat rumahnya.

"Saya ngomong ke Ustaz Syafi'i (pengurus musala -red), 'Pak Ustaz ini ibu saya minta disalatkan di musala bisa nggak?' Pak Ustaz langsung jawab, 'Nggak usah, Neng, percuma. Udah di rumah aja. Entar saya pimpin'. Memang benar sih dia pimpin, saya bilang ya udah," tutur Sunengsih saat ditemui di rumahnya, Jl Kramat Raya 2, Gang CC, RT 9 RW 5, Kelurahan Karet, Setiabudi, Jakarta Selatan, Sabtu (11/3/2017).

Meski menerima jenazah ibunya disalatkan di rumah, Sunengsih menyimpan penyesalan karena tak bisa memenuhi keinginan ibunya disalatkan di musala. Terlebih setelah muncul kabar musala Al Mu'minun memang menolak menyalatkan jenazah pendukung dan pembela penista agama.

Dua hari setelah jenazah Hindun dimakamkan, cerita Sunengsih ini mengalir dari mulut ke mulut hingga sampai ke telinga lurah dan camat. Lurah dan camat sampai datang ke rumah Sunengsih, yang kemudian mengadukan kabar soal penolakan menyalatkan jenazah di musala Al Mu'minun.

"Semalam sudah ngomong camat sama lurahnya, Pak Lurah ngomong ini (spanduk -red) ditutup. Kata relawan ditutup nggak bisa. Akhirnya kata Camat untuk turunkan spanduk tidak semudah itu, kita harus rembukan, segala macam. Tapi tadi katanya sudah diturunkan, saya belum lewat ke sana karena selama ibu saya meninggal saya pulang kerja selesai di rumah. Kalau saya bilang udah copot aja," ujarnya.

Singkat cerita, ada kerabatnya yang menghubungi wartawan. Berita jenazah Hindun pun tersebar dari satu grup WA ke grup WA lainnya. Wartawan lain pun berdatangan ke rumah Sunengsih. Dari pemberitaan, Sunengsih mengetahui bahwa pengurus RT dan pengurus musala beralasan tak mensalatkan jenazah Hindun karena hujan deras. Sunengsih menepis alasan itu.

"Begitu wartawan yang mungkin udah ke sana (Pak RT dan pengurus musala -red) ya, alasannya berubah, alasan hujan deras kata Pak RT. Hujan deras? Saya bilang ke wartawan, panggil dua-duanya kemari. Waktu saya minta ibu disalatkan, posisi nggak ada hujan. Benar hujan, tapi ketika ambulans masuk TPU. Jadi hujan deras begitu mayat mau masuk TPU," tuturnya.

Sunengsih beranggapan jenazah ibunya ditolak disalatkan di musala. Soal kabar bahwa penolakan itu karena ibundanya memilih Ahok, Sunengsih menyesalkan jika memang itu alasannya. "Kalau itu (penolakan karena pilih Ahok -red) iya benar, maka ini saya bilang disangkutpautkan ke situ. Memang pada waktu pilkada itu TPS 14 kita semua ke sana, yang nggak bisa ibu, karena sakit nggak bisa jalan," ujar Sunengsih.

Oleh karena ibunya tak bisa ke TPS, maka Tim TPS yang menghampiri ke rumah. Hindun pun mencoblos di rumah. Sunengsih menyampaikan penyesalan karena pilihan ibunya tak dirahasiakan. "Memang tim TPS datang, yang saya dan keluarga sayangkan, kenapa kertas (surat suara -red) digelar , dilihat orang jelas-jelas, kenapa enggak ditutup?" tuturnya.

Meski demikian, Sunengsih mengakui bahwa dirinya dan keluarganya memang memilih Ahok. Dia menegaskan pilihannya itu hak politik, tak seharusnya menjadi alasan ibunya tak disalatkan.

Tetangga Sunengsih, Syamsul Bahri, menuturkan cerita berbeda. Dia mengatakan warga membantu mengurus jenazah Hindun. Warga juga datang untuk melayat.

"Waktu itu saya baru pulang dari kantor, berita duka terdengar di musala-musala RW 5. Itu pergerakan secara otomatis, kalau warga RW 5 itu untuk berita duka cepet gotong royongnya. Saya bersama pengurus masjid, Ustaz Syafii, langsung ambil pemandian mayat di masjid lainnya, kita dorong, kita siapkan, kita hubungin pemandi mayat," tutur Syamsul.

"Pemandi mayat orang PKS, tapi mereka nggak lihat pilihan, yang mandiin, papan, sampai ambulance mereka menghubungi Golkar dan PDIP itu enggak ada, lagi penuh. Akhirnya dari timses Gerindra. Dari RW punya inisiatif untuk memanggil ambulance. Akhirnya datang, ambulance Anies-Sandi. Itu kan tidak melihat perbedaan, tetap dukung, karena itu kan warga kita," sambungnya. (detik)
Sabtu, 11 Maret 2017

Cerita Jenazah Nenek yang Tak Disalatkan di Musala di Karet Jaksel
Sunengsih memegang foto almahum Hindun
      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :