Jakarta - Meski Indonesia punya garis pantai kurang lebih sepanjang 81.000 kilometer (km), tak semua wilayah laut tersebut bisa dijadikan tempat produksi garam yang optimal. Beberapa faktor sangat mempengaruhi produktivitas garam seperti curah hujan, kelembaban udara, suhu, angin, dan kadar garam di air laut.
"Produksi garam kan sangat tergantung cuaca, tingkat curah hujan, temperatur, angin, kelembaban, dan lainnya. Kalau curah hujan dan kelembaban tinggi, itu akan menghambat proses evaporasi (penguapan), menjadikan air laut jadi air tua (bahan baku garam) menjadi agak lambat. Ini membuat produktivitas petambak garam rendah," kata Kepala Pusat Riset Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Riyanto Basuki, Selasa (1/8/2017).
Selain itu, lanjut dia, pengelolaan garam yang masih dilakukan tradisional juga membuat produksi garam lokal masih kurang optimal, baik dari sisi kebersihannya maupun volumenya. Hal ini berbeda dengan produksi garam di Australia yang sudah menggunakan mekanisasi lewat alat-alat modern.
"Indonesia sifatnya masih padat karya. Indonesia tak bisa dibandingkan dengan Australia, karena mereka sudah mekanisasi, lebih tepatnya membandingkan dengan India yang sama-sama petambak rakyat atau padat karya," ujar Riyanto.
Lanjut dia, skala luas lahan produksi garam di oleh petambak garam yang masih kecil juga berkontribusi pada panen garam kurang maksimal
"Sama seperti kasus di pertanian, pasti kendalanya lahan sempit yang terfragmentasi kecil-kecil. Hitung-hitungan rata-rata lahan tambak garam di Indonesia itu hanya 0,5 sampai 0,75 hektar," terang Riyanto.
Kepemilikan lahan yang sempit ini coba diatasi KKP lewat program pusat usaha garam rakyat (Pugar). Di mana kawasan tambak garam yang terfragmentasi tersebut terhubung melalui jalan produksi dan irigasi yang dibangun pemerintah. Sehingga meski lahan tambak garam berskala kecil, namun semuanya terintegrasi dalam satu kawasan.
Diungkapkannya, selain peningkatan produktivitas, perlu ada gudang garam dalam skala besar untuk mengamankan pasokan garam saat terjadi kelangkaan seperti sekarang ini.
"Memang perlu banyak gudang garam, karena sekarang ini kurang. KKP sendiri sekarang mulai bangun gudang-gudang besar untuk garam. Gunanya untuk mengantisipasi saat terjadi paceklik. Ini sudah mulai sejak 2 tahun lalu dengan sistem resi gudang," kata dia.
Menurutnya, gudang garam sebenarnya tak jauh berbeda dengan gudang beras sebagaimana yang dimiliki Perum Bulog. Hanya beberapa modifikasi yang diperlukan, yakni dibuat saluran untuk menampung garam yang mencair.
"Memang gudangnya khusus, tapi modelnya sama seperti di Bulog. Yang berbeda perlu dibuat parit-parit manakala ada pencairan garam," ujar Riyanto.
Kebutuhan mendesak impor garam
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Darmin Nasution, menyebut keputusan pembukaan impor garam 75.000 ton dilakukan lantaran dianggap sudah sangat mendesak. Namun kebijakan impor selanjutnya, perlu dikaji lebih mendalam, terutama terkait pangkal penyebab kelangkaan.
"Yang penting selesai dulu urusan kebutuhan kebutuhan yang sudah terlanjur kurang, tapi pada saat yang sama kita harus mulai melihat apa yang salah soal garam ini," ucap Darmin.
Meski tak menampik karena faktor cuaca, perlu ada perbaikan teknologi pada tambak-tambak rakyat garam saat ini.
"Itu pasti kemampuan teknologi petaninya ada yang perlu dibetulkan. Teknologi berproduksi rakyat kita terutama di Madura masih seperti dulu, padahal sudah pakai membran supaya lebih bersih," pungkasnya. (idr/wdl/detik)