majalahbuser.com – Pakar hukum tata negara Mahfud MD mengemukakan bahwa praktik lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) dan zina harus dilarang karena bertentangan dengan konstitusi di Indonesia.
"Tapi yang melarang harus legislatif [DPR], jangan MK [Mahkamah Konstitusi]," ujarnya dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne, Rabu dinihari, 20 Desember 2017.
Mahfud lalu menceritakan, ibu-ibu yang menjadi pemohon uji materi ke MK soal tiga pasal terkait kejahatan terhadap kesusilaan itu pernah berkonsultasi kepada dia pada Februari 2016.
Saat itu, ketika para ibu bertanya apakah mereka punya peluang, Mahfud menjawab, "Punya peluang tapi hakim bisa berbeda-beda pendapatnya. Teorinya MK tidak boleh membuat norma, (permohonan) ibu kemungkinan ditolak," ujarnya.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga telah mengingatkan para ibu bahwa ketika sidang MK menyatakan menolak permohonan, maka isu ini akan meledak, seakan-akan LGBT dan zina dibenarkan.
"Ternyata benar (isu meledak). Padahal (LGBT dan zina) tidak dibenarkan (oleh MK)," ujarnya.
Walau sudah ada putusan dari MK, Mahfud pun mengajak semua pihak untuk menghentikan caci maki sebab tidak ada yang menyatakan LGBT dan zina dibenarkan. Dia pun menyarankan masyarakat untuk terus memaksa DPR agar segera mengesahkan payung hukum untuk melarang praktik LGBT dan zina itu.
Sekarang ini, Mahfud menyebutkan, soal zina belum final dibahas di DPR. Kabarnya di DPR separuh setuju untuk dijadikan hukum pidana, separuh lainnya tidak setuju. Dia mempersilakan organisasi NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya serta aktivitis untuk datang ke DPR guna mengawal soal ini.
"Jangan sampai kecolongan dalam memperjuangkan isu ini di DPR," katanya.
Sebelumnya sekitar 10 orang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi mengenai pasal-pasal terkait kejahatan terhadap kesusilaan yaitu Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Permohonan ini telah diajukan sejak 19 April 2016. Para pemohon menginginkan agar LGBT masuk dalam ranah pidana.
Kemudian MK memutuskan menolak permohonan perluasan makna pasal asusila dalam KUHP yang menginginkan agar aktivitas LGBT masuk dalam ranah pidana tersebut, pada Kamis, 14 Desember 2017.
Dalam putusan itu terdapat Dissenting Opinion (perbedaan pendapat). Sebanyak empat hakim menyetujui perluasan makna pasal, yakni Arif Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Sementara lima lainnya menolak permohonan, yakni, Saldi Isra, Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, M Sitompul dan Suhartoyo. (ren/viva)