Yogyakarta – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi segera melimpahkan berkas perkara Setya Novanto dalam kasus E-KTP ke pengadilan. Langkah ini, dinilai mampu mencegah proses pra peradilan seperti yang terjadi sebelumnya.
“Sprindik (surat perintah penyidikan) yang dikeluarkan KPK atas Setya Novanto sudah saya prediksi. sejak pra peradilan dimenangkan. Saya memastikan KPK bisa mentersangkakan lagi, karena sudah ada dua alat bukti,” jelas Mahfud di Yogyakarta, Selasa 7 Movember 2017.
Keberadaan dua alat bukti dalam penetapan tersangka Setya, dianggapnya sudah sesuai dengan logika hukum dan publik. Karena sudah keluar sprindik, Mahfud meminta KPK segera melimpahkan semua berkas perkara ke pengadilan, agar bisa disidangkan segera. Di mata hukum, ketika persidangan dimulai, maka pengajuan pra peradilan tidak bisa dilakukan.
Tidak hanya itu, kecepatan pelimpahan berkas ke pengadilan ini juga untuk mengurangi tekanan politik dalam pengungkapan mega korupsi dari kasus ini.
Mahfud yakin, KPK bisa menyelesaikan secepatnya berkas perkara, karena semua sudah dipelajari sejak lama. Kecepatan ini diperlukan KPK untuk mencegah pembela hukum tersangka menyusun materi untuk pra peradilan.
“Saya kira untuk memeriksa Setya, KPK tidak perlu izin dari Presiden. KPK bisa menjemput paksa tersangka, meskipun dia pejabat publik,” lanjut Mahfud.
Ini sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), tepatnya pasal 245 ayat 3 butir C. Pasal ini menyatakan, penyidik tidak perlu meminta izin dari Presiden, apabila ingin memeriksa anggota MD3, sepanjang memenuhi persyaratan yang diundangkan.
Sebelumnya, Pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, pasang badan melawan KPK. Menurutnya, tidak ada alasan bagi KPK untuk menetapkan Novanto sebagai tersangka lagi.
"Saya sudah bilang berulang kali bilang, coba sentuh (Novanto) saya hajar. Maksudnya bukan hajar gimana ya, hajar itu secara hukum saya lapor polisi. Polisi kita hebat kok. Kita kan hukum yang kita jalankan," kata Fredrich di kantornya, Jalan Iskandar Muda, Jakarta Selatan, Selasa (7/11/2017).
Namun Fredrich mengaku hingga saat ini belum menerima keterangan resmi apapun dari KPK terkait hal itu, baik surat perintah penyidikan (sprindik) maupun surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Sebelumnya KPK menyebut ada sprindik baru terkait kasus korupsi e-KTP tetapi tidak menyebutkan siapa tersangka yang telah ditetapkan.
"Tidak (terima sprindik atau SPDP). Nggak perlu (klarifikasi ke KPK), kecuali suratnya itu dikirim ke saya atau KPK mengatakan surat dikirim. Kalau saya nggak terima, saya klarifikasi," ucap Fredrich.
Menurut Fredrich, apabila benar Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK maka akan menjadi preseden buruk. Bahkan, Fredrich menyebut hukum Indonesia sebagai hukum karet apabila sampai benar Novanto jadi tersangka.
"Itu kan justru bakal jadi preseden buruk buat masyarakat. Berarti apa? Kita punya hukum, hukum karet. Tahu nggak karet? Ditarik, tutup, tarik lagi, nggak selesai-selesai. Undang-Undang Dasar berarti harus diubah. Tidak ada kepastian hukum jadikan. Jadi hukum itu suka-suka. Gitu kan," kata Fredrich.
Selain itu, Fredrich juga mengomentari tentang pernyataan KPK yang pernah menyebut ada 200 bukti Novanto terlibat kasus korupsi e-KTP. Menurut Fredrich, KPK mimpi di siang bolong. (detik/viva/bsr1)