Jakarta - Dalam satu hari, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat dua putusan mengejutkan. Putusan itu adalah memperbolehkan antar-rekan kantor menikah dan pemidanaan LGBT dan kumpul kebo jadi kewenangan DPR-pemerintah.
Putusan memperbolehkan sesama teman dalam satu kantor menikah yang diajukan 8 karyawan. Kedelapan orang itu meminta agar Pasal 153 ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan dibatalkan sepanjang frasa 'kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama'. MK mengabulkan gugatan mereka.
"Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," putus Ketua MK Arief Hidayat, dalam sidang di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Putusan ini sontak membuat gembira karyawan atau serikat dan membuat kecewa pengusaha. Namun, MK memiliki pertimbangan bahwa pernikahan tidak boleh dilarang oleh siapa pun, apalagi hanya karena masalah pekerjaan.
"Perkawinan adalah takdir yang tidak dapat direncanakan dan dielakkan oleh karena itu menjadikan sesuatu yang bersifat takdir sebagai syarat untuk mengesampingkan pemenuhan HAM dalam hal ini hak atas pekerjaan serta hak untuk membentuk keluarga, tidak dapat diterima sebagai alasan yang sah secara konstitusional sesuai dengan pasal 28 J UU 1945," ujar hakim konstitusi Aswanto dalam pertimbangannya.
Berikutnya, MK menolak mengadili gugatan soal LGBT dan kumpul kebo yang diajukan Guru besar IPB Euis Sunarti. MK menyatakan perumusan delik LGBT dalam hukum pidana Indonesia masuk wewenang DPR-Presiden.
"Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tindak pidana baru sebab kewenangan tersebut berada di tangan Presiden dan DPR. MK tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana," ujar anggota majelis, hakim Maria Farida dalam pertimbangannya.
Putusan ini membuat Euis kecewa. Euis pun menyatakan akan mencari jalan lain untuk berjuang. "Kami tentu sedih karena kami berharap banyak ini lembaga yang memang kami harapkan karena kami bergerak dari masyarakat dari level bawah mengetahui besarnya masalah ini di lapangan," kata Euis seusai sidang pengucapan putusan.
Pimpinan DPR: Putusan MK soal Kumpul Kebo dan LGBT Perlu Dikaji
Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang mengkriminalkan kumpul kebo dan LGBT karena kewenangan itu ada di tangan pemerintah-DPR. Plt Ketua DPR Fadli Zon akan mengkaji putusan tersebut.
"Bagi saya, secara pribadi ini maksudnya di satu sisi terutama misalnya yang terkait dengan hukum yang ada di dalam positif kita. Ini yang perlu dikaji," kata Fadli di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (15/12/2017).
Meski menjadi polemik, Fadli menuturkan, hal itu perlu dikaji secara hukum. Ia menyebut hal itu merupakan masalah konstitusi. "Justru itu yang tadi saya sampaikan bahwa ini kontroversial. Tapi secara hukum harus kita kaji hukum positif di mana sebenarnya kan masalah Mahkamah Konstitusi itu hakim yang mengadili," tuturnya.
"Masalah konstitusi kita jadi apakah ada di dalam hukum kita yang tidak ada itu atau dari sisi konstitusi kita yang memang tidak menampung masalah itu," sambungnya.
Sebelumnya, permohonan gugatan itu diajukan oleh guru besar IPB, Euis Sunarti, dan kawan-kawannya. Penggugat beserta 11 temannya meminta MK meluaskan makna pasal asusila dalam KUHP, yaitu Pasal 284, 285, dan 292. Dalam gugatannya itu, Euis dkk berharap kumpul kebo dan homoseks bisa masuk delik pidana dan dipenjara.
MK menolak mengadili gugatan itu. Diketok oleh Ketua MK Arief Hidayat, putusan MK menolak permohonan untuk seluruhnya. Majelis menganggap kewenangan menambah unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukanlah kewenangan MK, melainkan kewenangan presiden dan DPR.
Meski begitu, para hakim konstitusi tidak bulat bersuara dalam pengambilan keputusan ini. Empat hakim konstitusi setuju LGBT serta kumpul kebo masuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan lima hakim lainnya tidak setuju. (detik/bsr1)