Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
copyright @ 2011 - 2018 majalahbuser.com
Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta pejabat terkait membuat kajian pertimbangan hukum terkait rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir.

Menko Polhukam Wiranto mengatakan pemerintah sudah menerima permintaan pembebasan Ba'asyir sejak 2017. Keluarga mengajukan pembebasan karena kondisi kesehatan dan usia Ba'asyir.

"Dan atas dasar pertimbangan kemanusiaan, Presiden sangat memahami permintaan keluarga tersebut. Namun tentunya masih perlu dipertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek ideologi Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya," kata Wiranto dalam jumpa pers di kantornya, Jl Medan Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (21/1/2019).

Karena itu, Presiden Jokowi, menurut Wiranto, minta pertimbangan-pertimbangan terkait sejumlah aspek tersebut.

"Oleh karena itu, Presiden memerintahkan kepada pejabat terkait untuk segera melakukan kajian mendalam dan komprehensif guna merespons permintaan tersebut," sambung Wiranto.

Sementara, Tim Pengacara Muslim (TPM) menjelaskan alasan Abu Bakar Ba'asyir menolak menandatangani dokumen syarat untuk pembebasan bersyarat. Dokumen itu di antaranya berisi pengakuan tindak pidana hingga ikrar setia pada NKRI.

"Dokumen itu macam-macam yang paling penting adalah dokumen untuk berjanji tidak akan melakukan tindak pidana yang dilakukannya," kata Ketua Dewan Pembina TPM, Mahendradatta di kantornya, Jalan Raya Fatmawati, Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Senin (21/1/2019).

Mahendradatta mengatakan, Abu Bakar Ba'asyir menolak meneken dokumen itu karena merasa tidak terlibat dalam perencanaan dan pendanaan latihan militer di Aceh. Menurutnya, Abu Bakar Ba'asyir hanya mengetahui latihan tersebut untuk para mujahid yang ingin berangkat ke Palestina dan latihan-latihannya bersifat sosial.

"Ustaz itu sampai sekarang tidak mau mengakui melakukan tindak pidana yang dibilang sebagai perencana dan penyandang dana latihan militer di Aceh. Beliau tidak tahu kalau latihan militer, yang beliau tahu itu latihan kesiapan untuk para mujahid yang ingin berangkat ke Palestina, yang dia tahu itu latihan yang bersifat sosial," ungkap Mahendradatta.

"Jadi kalau ada tuduhan bahwa ustaz (Ba'asyir) mengetahui itu latihan militer sehingga membentuk angkatan perang ustaz tidak mau," imbahnya.

Mahendradatta juga menjelaskan alasan Ba'asyir menolak meneken ikrar setia NKRI. Sebab Ba'asyir mendapat penjelasan Yuzril Ihza Mahendra jika Pancasila sejalan dengan Islam. Ba'asyir menurut Mahendradatta kemudian menganggap tak perlu meneken setia kepada Pancasila karena sudah setia pada Islam.

"Pembicaraannya gini 'ustaz kalau ini kok nggak mau tanda tangan, kalau Pancasila itu sama dengan bela Islam'. 'Loh kalau gitu sama dengan Pancasila, kenapa saya nggak bela Islam saja, kan sama saja. Jadi belum sampai ke argumen yang meyakinkan ustaz. Kalau hal yang sama kenapa saya tidak menandatangani yang satu, tidak boleh yang dua. Itu hanya sebagai kepolosan saja yang saya bilang," ujar Mahendradatta.

Sementara itu, kuasa hukum Ba'asyir lainnya, Ahmad Michdan, meluruskan terkait Abu Bakar Ba'asyir yang menolak meneken dokumen yang berisi ikrar setia NKRI. Menurutnya, ikrar setia NKRI tersebut menjadi satu dengan dokumen harus mengakui kesalahan sehingga sejak awal Ba'asyir tidak menandatanganinya.

"Surat itu dalam satu surat yang isinya sekaligus. Pertama mengakui bahwa dia bersalah. Kedua menyesali perbuatan itu dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi. Itu saja sudah salah. Baru setia kepada NKRI dan Pancasila. Itu satu kesatuan. Mana mungkin mau di tanda tangan, Nah yang pertama saja judulnya ustaz mengakui kesalahan," ujar Michdan. (detik/bsr1)
Senin 21 Januari 2019

Jokowi Minta Menteri Kaji Aspek Hukum Pembebasan Ba'asyir
Abu Bakar Ba'asyir
bersama Yusril Ihza Mahendra
      Berita Nasional :

       Berita Daerah