Jakarta - Kasus Baiq Nuril membuka kotak pandora bila putusan pengadilan tidak selamanya adil. Untuk memberikan rasa keadilan masyarakat, Kepala Negara turun tangan memberikan amnesti dan sedang dimintakan persetujuan DPR. Namun ada pekerjaan rumah (PR) yang juga mendesak, yaitu revisi UU Amnesti. Mengapa penting?
"Penggunaan hak prerogatif dalam pemberian remisi ini agar tidak digunakan oleh presiden sekehendaknya maka perlu diatur kriteria yang secara philosofis berdasarkan asas-asas tidak mengandung cacat karena didasarkan pada itikad baik (dwaling), tidak mengandung unsur penipuan (bedrog) dan tidak mengandung paksaan (dwang) yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah," kata ahli hukum tata negara, Agus Riewanto, kepada detikcom, Rabu (17/7/2019).
Hak pemberian amnesti merupakan hak yang bersifat khusus pelaksanaanya sepenuhnya tergantung kehendak presiden (inherent power) di luar kekuasaan lembaga atau badan lain. Hak-hak yang hanya dilakukan untuk dan atas nama negara maka hak-hak Presiden bersifat konstitusional yang berasal dari kewenangan atribusi UUD, yakni Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
"Amnesti adalah hak presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara. Menunjukan bahwa presiden masih mempunyai pengaruh dalam masalah hukum dan kehakiman, walaupun terbatas," ujar Agus.
Menurut Agus, pemberian amnesti bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak konstitusional presiden untuk memberikan ampunan. Dengan demikian, penggunaan hak konstitusional presiden dalam bentuk pemberian amnesti kepada terpidana sesungguhnya tidak mereduksi kekuasaan kehakiman, karena memang kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan kekuasaan yang merdeka, tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun sekalipun oleh presiden atas nama pelaksanaan hak presiden sebagai hak konstitusional presiden.
Pasca Kasus Baiq Nuril, Ini Pentingnya Revisi UU AmnestiFoto: Agus Riewanto (dok.pri)
"Hak pemberian amnesti ini tidak bersifat absolut karena memperhatikan pertimbangan DPR. Namun karena bersifat pertimbangan, menurut hemat saya, konstitusi tidak mewajibkan presiden terikat atau fakultatif sifatnya atas pertimbangan DPR tersebut. Hal ini merupakan praktek saling kontrol dan mengimbangi antar eksekutif dan legislatif," papar Agus.
Pemberian amnesti juga seringkali disebut sebagai wewenang yudikatif presiden. Wewenang ini harus dimaknai sebagai upaya menyelamatkan kepentingan negara terhadap kekacauan sistem hukum dan/atau kekhilafan dalam proses hukum.
"Oleh sebab itu, perlu diantur tentang apakah orang yang telah mendapatkan amnesti masih perlu mendapatkan berhak mendapatkan rehabilitasi. Perlu diatur juga agar ketika seseorang di beri Amnesti tidak dapat digugat melalui jalur perdata terkait perbuatannya sebelum diamnesti.
Baca juga: DPR Targetkan Pertimbangan Amnesti Baiq Nuril Rampung Akhir Juli
Agus juga memaparkan, perlu diatur dengan tegas tentang lembaga dan atau Kementerian mana yang mengajukan amnesti kepada presiden agar jelas dan tidak tumpang tindih.
"Perlu diatur pula tentang tenggat waktu yang akan diberikan oleh DPR dalam pertimbangannya amnesti kepada presiden," pungkas pengajar Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta itu.
Sebagaimana diketahui, UU Amnesti terakhir dibuat pada 1954. UU itu dinilai tidak relevan lagi karena UUD 1945 sebagai pijakan sudah mengalami perubahan. Menkumham Yasonna Laoly juga menyatakan dirinya akan membahas revisi UU Amnesti tersebut. (detik)