Kritik belum mereda, terungkap kasus baru peredaran narkoba yang diduga diotaki salah seorang penerima grasi, Meirika Franola alias Ola (42). Tak pelak ini menjadi tamparan telak bagi Presiden. Para pembantu Presiden kembali sibuk menanggapi dan membela kebijakan pemberian grasi tersebut.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto, seusai rapat kabinet pada Selasa (6/11/2012), mengumumkan kemungkinan pencabutan grasi bagi Ola. Belakangan, ide pencabutan grasi itu juga dinilai kurang tepat oleh sejumlah kalangan karena melanggar konvensi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana pun gigih berargumentasi bahwa grasi merupakan kewenangan konstitusional Presiden. Ia mengklaim, pemberian grasi telah melalui mekanisme yang selektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum grasi diberikan, Presiden meminta pertimbangan Mahkamah Agung (MA), meminta masukan Menteri Hukum dan HAM, Menko Polhukam, Jaksa Agung, dan Kepala Polri.
”Tidak ada obral grasi karena faktanya data statistik menunjukkan 85 persen permohonan grasi ditolak,” kata Denny. Memang dari 126 permohonan grasi yang diajukan, hanya 19 permohonan yang dikabulkan.
Meski dikatakan telah meminta pertimbangan MA, Juru Bicara MA yang juga Ketua Muda Pidana MA Djoko Sarwoko menegaskan, saat itu MA berpandangan, permohonan grasi yang diajukan Ola tidak memiliki cukup alasan untuk dikabulkan (Kompas, 13/10/2012).
Jika pandangan MA itu benar-benar dijadikan dasar pengambilan keputusan, logikanya permohonan grasi seharusnya ditolak. Jangan-jangan permintaan pertimbangan itu hanya untuk memenuhi prosedur karena toh keputusan memberikan grasi sepenuhnya hak konstitusional Presiden.
Dilema
Persoalan pemberian grasi sejatinya tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum di Indonsia yang masih mengakui hukuman mati. Sementara perkembangan global yang mulai meninggalkan hukuman mati demi penghormatan akan HAM, diakui atau tidak, turut memengaruhi pola pikir pemerintah.
”Kecenderungan dunia, tidak mengarah pada hukuman mati. Dari 198 negara, tinggal 44 negara yang masih mengakomodasi hukuman mati dan melaksanakannya. Sejumlah 154 negara atau 80 persen menolak hukuman mati. Ada empat kategori penolakan, yakni menolak sama sekali hukuman mati, menolak untuk kasus tertentu, dalam 10 tahun terakhir tidak menerapkan hukuman mati, dan moratorium hukuman mati,” kata Denny.
Ini berarti sepanjang ketentuan hukum dalam negeri mengakui hukuman mati, grasi yang menganulir hukuman mati tetap berpotensi menimbulkan kontroversi. Menghilangkan hukuman mati dalam sistem hukum kita bukan perkara gampang karena akan banyak diskursus mengenai hal itu.
Di sisi lain, Presiden juga dihadapkan pada persoalan warga negara Indonesia (WNI) yang menghadapi vonis hukuman mati di luar negeri. Di Malaysia, hingga 22 Oktober 2012 sebanyak 86 WNI dipidana mati karena kasus narkoba (Kompas, 24/10/2012). Menurut Denny, hingga 4 Oktober 2012 sebanyak 298 WNI diancam hukuman mati di luar negeri. Dari jumlah itu baru 100 orang yang terbebas dari hukuman mati, dengan 44 orang di antaranya kasus narkoba. Dari 198 WNI yang masih terancam hukuman mati, 62 persennya terkait kasus narkoba.
Tidak sedikit publik di dalam negeri yang tidak rela dan berteriak lantang jika ada WNI yang dihukum mati di luar negeri. Pemerintah juga didesak mengadvokasi mereka agar terbebas dari hukuman mati atau setidaknya secara resmi memohonkan pengampunan bagi mereka.
Menurut Denny, tidak adil jika di satu sisi Presiden didesak meminta pengampunan bagi WNI yang terancam hukuman mati, tetapi di sisi lain selalu dikecam saat di dalam negeri memberikan grasi bagi WNI ataupun warga negara asing yang diancam hukuman mati.
Polemik grasi bagi Ola sejatinya juga berkaitan dengan ketidakmampuan lembaga pemasyarakatan dalam membina dan mengawasi narapidana. Setelah menerima grasi, Ola, yang mendekam di lembaga pemasyarakatan di Tangerang, belakangan diduga mengotaki peredaran narkoba. (kompas)