Desakan itu muncul karena perkawinan siri dalam Islam merupakan perkawinan yang sah karena memenuhi tuntunan syariah. Masalah muncul, karena dalam hukum formal, pemerintah mensyaratkan sahnya perkawinan apabila telah dicatatkan secara resmi di KUA.
Akibatnya, banyak anak yang lahir dari perkawinan siri tidak jelas statusnya. Pasalnya, dalam akta kelahiran tidak tercantum nama pria yang telah menikah dengan ibunya. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi di tingkat nasional melainkan juga di daerah.
Bahkan dari pengamatan MUI, kasus perkawinan siri cukup banyak ditemukan di Kabupaten Kediri. Kasus perkawinan siri tersebut dilakukan dengan banyak alasan, seperti masalah ekonomi, tidak adanya ijin dari orangtua maupun tidak adanya ijin dari pria untuk menikah lagi dari istri pertama.
"Masalah ini akan menimbulkan gangguan psikologis bagi anak mengingat apabila masuk sekolah, mereka harus menunjukkan akta kelahiran. Padahal kalau anak hasil perkawinan siri, jelas tidak tertulis nama lelaki yang telah menyebabkan kelahirannya," ujar Ahmad Sobiri, Ketua Umum MUI Kabupaten Kediri.
Dengan kondisi itu, kata Sobiri, pihaknya meminta pemerintah untuk lebih bersikap arif. Pemerintah diharapkan bisa mengeluarkan solusi terbaik agar beban psikologis anak yang terlahir dari perkawinan siri dapat berkurang.
Misalnya dengan mempermudah pengurusan akta kelahiran dan mengedukasi masyarakat agar tidak mengucilkan anak dari perkawinan siri ataupun anak yang terlahir akibat kasus perzinahan.
Untuk itu, dalam waktu dekat, MUI akan menemui pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Kediri guna membahas persoalan itu. Menurutnya, di satu sisi, kami ingin pemerintah melihat masalah ini dengan bijaksana melalui perubahan hukum formal yang mengatur tentang hak - hak anak dari perkawinan siri.
Di sisi lain, kami tentu akan tetap memberi pemahaman pada umat agar memenuhi ketentuan nikah sesuai hukum formal sehingga semuanya bisa berjalan seimbang," imbuh Sobir. (tribunnews)