Hal ini terjadi di tengah-tengah menguatnya dorongan kelompok masyarakat, anggota parlemen, dan ahli hukum agar Presiden bertindak cepat dalam menyelesaikan perebutan kewenangan ini.
Pada Sabtu (4/8/2012), Presiden menggelar jumpa pers di kediamannya di Puri Cikeas Indah, Gunung Putri, Bogor. Pada kesempatan itu, Presiden menyampaikan pandangan pemerintah Indonesia soal konflik komunal antara etnis Rohingnya dan Rakhai di Myanmar.
"Pemerintah Indonesia memiliki keprihatian atas konflik komunal. Bukan hanya prihatin, tapi pemerintah telah, sedang, dan terus melakukan upaya, baik itu diplomasi maupun upaya lain yang berkaitan dengan isu kemanusiaan atas etnis Rohingnya yang ada di Myanmar tersebut," kata Presiden.
Hubungan KPK-Polri mulai memanas setelah polisi "menyandera" penyidik KPK yang melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas. Tak hanya itu, para penyidik pun sempat dilarang membawa keluar barang bukti dari Gedung Korlantas. Barang bukti tersebut termasuk aliran dana kasus ke pejabat Korlantas.
Kendati barang bukti berhasil dibawa ke KPK, hingga kini penyidik lembaga antikorupsi belum dapat mengakses barang bukti.
Hubungan kian runcing setelah Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan lima tersangka terkait kasus tersebut pada tanggal 2 Agustus 2012. Mereka adalah Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek itu, Ketua Pengadaan Simulator SIM yakni AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri seorang Kompol berinisial LGM, Sukotjko S Bambang dan Budi Susanto.
Padahal, KPK telah menetapkan Brigjen Pol Didik Purnomo, Sukotjo, Budi Susanto, dan mantan Kepala Korlantas Irjen Djoko Susilo pada 27 Juli 2012. KPK juga telah terlebih dahulu meningkatkan status penyidikan.
Kendati menetapkan tersangka belakangan, Polri bersikeras menahan empat tersangka yakni Brigjen Didik, AKBP Teddy, LGM, dan Budi Susanto.
Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Sutarman mengatakan tak akan menyerahkan keempat tersangka tersebut kepada KPK. Atas hal ini, KPK akan menghadapi kesulitan memeriksa tersangka tersebut. Sutarman mengatakan, Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan ketika KPK mulai menyidik, maka Polri dan Kejaksaan Agung tak berwenang lagi.
KPK memulai penyelidikan sejak Januari 2012, sementara Polri pada Mei 2012. Pada tanggal 13 Mei 2012, Polri sempat menyatakan bahwa tak ada kasus korupsi dalam proyek simulator tersebut. Polri bersikeras menyidik kasus ini dengan alasan tak ada aturan atau hukum yang menghentikan penyidikan. Polri mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis). Sesuai UU No 30/2002, diatur hukum acara yang berlaku adalah KUHAP, kecuali ditentukan lain oleh UU itu, yaitu UU No 30/2002.
Dalam Pasal 38 Ayat (1) UU No 30/2002 disebutkan, segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur UU No 8/1981 tentang KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK. Namun, dalam Pasal 38 Ayat (2) juga diatur ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No 8/1981 tentang KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU ini.
Dalam asas hukum, hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Bernard L Tanya, perintah UU No 30/2002 tentang KPK sudah jelas sehingga mustahil jika Polri salah membaca. (kompas)