"Dan, potensi kerugian negara yang bisa disebabkan adalah Rp4,9 trilyun dan US$305 Juta," ujar Uchok dalam materi yang dikirimkan kepada Tempo, Ahad, 15 Juli 2012.
Uchok melanjutkan, dari 24 perusahaan pelat merah tersebut, perusahaan yang paling tinggi potensi terkorupnya adalah PT. Telekomunikasi Indonesia. Berdasarkan analisis Fitra, potensi penyimpangan anggaran yang merugikan negara oleh PT. Telekomunikasi Indonesia mencapai Rp12 milyar dan US$ 130 juta.
Di bawah PT. Telekomunikasi Indonesia, ada PT Rajawali Nusantara Indonesia. Fitra mengungkapkan, PT. Rajawali Nusantara memiliki potensi penyimpangan anggaran senilai Rp904,85 milyar. Sementara itu, di posisi ketiga, ada perusahaan publik PT Jasa Marga dengan potensi penyimpangan sebesar Rp605 milyar.
Uchok melanjutkan, potensi-potensi penyimpangan tersebut terjadi karena sejumlah faktor. Namun, faktor yang terkuat adalah kelemahan sistem pengendalian internal, sistem pengendalian akuntansi, dan pelaporan catatan keuangan yang tidak akurat. “Penyusunan laporan keuangan kadang juga tidak sesuai ketentuan,” ujarnya singkat.
Faktor lainnya yang menurut Uchok memunculkan potensi korup atau tindakan merugikan negara adalah kelemahan kelemahan sistem pengendalian pelaksanaan anggaran perusahaan dan kelemahan struktur pengendalian intern. "Tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai dalam BUMN. SOP juga tak jarang tidak ditaati.”
Berikut daftar 24 BUMN yang memiliki catatan kasus yang potensial merugikan keuangan negara:
1. PT Telekomunikasi Indonesia (Rp12 milyar, US$130 juta)
2. PT Rajawali Nusantara Indonesia (Rp904 ,8 milyar)
3. PT Jasa Marga (Rp605 ,4 milyar)
4. PT Bahana PUI (Rp237 ,8 milyar, US$39,5 juta)
5. PT PLN (Rp556 ,5 milyar)
6. PT Pembangunan Perumahan (Rp330 ,6 milyar)
7. PT Hutama Karya (Rp300 ,6 milyar, US$940 ribu)
8. PT Pertamina (US$ 32,4 juta)
9. PT Danareksa (US$ 28,1 juta)
10.PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Rp154 milyar, US$12,7 juta)
11. PT Wijaya Karya (Rp129 milyar, US$11,4 juta)
12. PT PPA (US$25 juta)
13. PT Taspen (Rp165,7 milyar)
14. PT Nindya Karya (Rp144,2 milyar)
15. PT Adhi Karya (Rp130,4 milyar)
16. PT Pelayaran Nasional Indonesia (Rp125 ,9 milyar)
17. Perum Bulog (Rp117 milyar)
18. PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (US$12,7 juta)
19. PT Kereta Api Indonesia (Rp110 ,8 milyar)
20. PT Industri Kapal Indonesia (US$12,2 juta)
21. PT Wijaya Karya (US$11,4 juta)
22. Perum Perhutani (Rp88,8 milyar, US$758 ,6 ribu)
23. PT Asuransi Jawisraya (Rp90,4 milyar, US$6 ribu)
24. PT PANN Multi Finance (US$4,6 juta)
sumber: tempo.co