"Selama 38 tahun bekerja, memang tidak ada peraturan perusahaan tentang waktu istirahat untuk mengikuti salat Jumat," ujar salah satu karyawan PT Hasil Fastindo yang juga koordinator aksi, Mahfud Zakaria di lokasi, Selasa (26/6/2012).
Ia menerangkan, peraturan tersebut tidak masuk akal. Apalagi sebanyak 31 pekerja merupakan pria muslim. Para pekerja pernah menanyakan ke perusahaan terkait dengan PHK tersebut.
Karena tidak ada jawaban yang memuaskan, pekerja menggelar aksi pada pertengah Maret lalu. Lagi-lagi aksinya tidak mendapatkan respon positif dari perusahaan. Bahkan pekerja yang ikut demo pun juga terkena imbasnya di-PHK.
"Justru perusahaan memberlakukan pelaksanaan salat Jumat bergilir. Dari 31 karyawan dibagi menjadi 3 kelompok bergilir untuk mengikuti salat Jumat. Kalau pekan ini salat Jumat, 2 pekan kemudian tidak diperkenankan mengikuti salat Jumat," tuturnya.
Dia menambahkan aksi yang digelar Maret lalu, membuat jumlah pekerja di PHK semakin bertambah. Pihak DPRD Kota Surabaya pun belum berhasil mengambil jalan tengah dalam menyelesaikan kasus ini.
Dalam aksinya, 5 pekerja dari perwakilan massa saat ini ditemui oleh seorang anggota dewan. Masaa tetap meminta, khususnya kepada Komisi A dan Komisi D, untuk mendukung pekerja mendapat kebebasan berserikat dan kebebasan beribadah.
"Kebebasan berserikat dan kebebasan beribadah adalah harga mati yang sudah tidak bisa ditawar lagi," jelasnya.
Saat kasinya di Jalan Yos Sudarso deepan gedung wakil rakyat, massa meneriakkan yel yel supaya 22 pekerja yang di-PHK secara sepihak, dapat dipekerjakan kembali ke posisi semula. Mereka juga meminta dewan untuk mencabut surat PHK terhadap karyawan yang di-PHK karena melakukan aksi serupa.
Selain berorasi, massa juga membawa beberapa spanduk dan poster yang diantaranya bertuliskan 'Pekerja itu wajib, salat jumat lebih wajib', 'Salat Jumat kok digilir, aneh-aneh wae', 'Hak berserikat 100 persen', ' Salat Jumat harga mati'. (detikSurabaya)