Tanda-tanda keberadaan pesawat nahas itu pertama kali terlihat oleh Tim SAR yang memantau lewat udara. Mereka menggunakan helikopter Super Puma FA 3214 milik TNI Angkatan Udara. Sekitar pukul 08.30 WIB, tim itu melihat serpihan pesawat yang berceceran. "Di atas ada serpihan pesawat dan ada logo Sukhoi. Warnanya sama dengan yang berangkat kemarin," kata Kepala Badan SAR Nasional, Daryatmo di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. "Tempat ini persis di koordinat yang kami duga saat lost contact."
Dari kejauhan, tebing yang ditabrak tampak berbeda dengan sekelilingnya. Sebidang tanah tampak lapang, pepohonannya rusak. Sementara, sekitarnya masih rimbun, terlihat masih hijau. Pada bidang yang ditabrak itu membentuk sebuah cerukan. Tim SAR segera mengerahkan personel ke titik itu. Helipad bekas eksplorasi geotermal Chevron dipersiapkan untuk evakuasi melalui udara. Tim evakuasi melalui jalur darat diberangkatkan, sesaat setelah temuan itu diumumkan.
Menjelang sore, tim evakuasi tak kunjung tiba di koordinat di mana bangkai pesawat berada. Tim SAR memutuskan untuk menghentikan sementara perjalanan mereka. Selain medan yang sulit, cuaca di Gunung Salak berubah buruk. "Kabut di sana mulai turun dan cuaca belum mendukung. Tunggu besok pagi karena dalam proses evakuasi, helikopter harus bisa masuk lokasi jatuhnya pesawat," kata Humas Badan SAR Nasional, Gagah Prakoso. "Semua sinyal di sana masih blank. Hanya bisa komunikasi antara helikopter ke helikopter."
Hingga petang hari, belum ada satu pun korban yang ditemukan. Namun, Gagah menyatakan tak ada korban yang selamat. "Tidak ada survivor (korban selamat). Kami belum menemukan survivor," ujar Gagah. Semua korban akan dibawa ke RS Polri, Jakarta. Helikopter Super Puma disiapkan untuk mengangkut para korban.
Siapkan identifikasi
Upaya identifikasi juga disiapkan oleh Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Juru Bicara Markas Besar Polri, Komisaris Besar Polisi Boy Rafli Amar, mengatakan alat identifikasi telah siap digunakan. Polri siap mencocokkan data Ante Mortem dengan Post Mortem. Data Ante Mortem adalah data-data sebelum korban meninggal dunia. "Kami memegang data awal penumpang, misalnya data semasa hidup dan jenis pakaian terakhir yang dikenakan penumpang," kata Boy. Menurutnya, data-data itu bisa menjadi pembanding.
Sementara itu, data Post Mortem adalah pencocokan data-data setelah seseorang meninggal dunia. Data yang biasa digunakan dalam identifikasi ini adalah gigi, baik itu jumlah maupun kondisinya. Sementara, data Ante Mortem lain yang bisa digunakan seperti ciri-ciri khusus yang dimiliki korban, seperti ras.
Cara terakhir yang bisa dilakukan untuk mengidentifikasi korban adalah dengan mencocokkan DNA korban. Cara ini biasanya dilakukan jika kondisi korban sangat sulit dikenali atau rusak. Untuk proses ini, polisi memerlukan data DNA pembanding dari keluarga korban. "Intinya kami kumpulkan semua data untuk memperlancar identifikasi, termasuk sidik jari," ujar Boy.
Kemungkinan penyebab
Pesawat nahas tersebut dipiloti penerbang senior Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov. Mereka sudah menerbangkan Sukhoi yang nahas itu dari Rusia, Kazakhstan, Pakistan, Myanmar. Namun, keduanya baru pertama kali menerbangkan pesawat di wilayah Indonesia. Meski begitu, lanjut Sunaryo, sebelum melakukan penerbangan, pilot Aleksandr Yablontsev dan kopilot Aleksandr Kochetkov telah melakukan persiapan dan briefing flight. "Tapi tidak mungkin menerbangkan pesawat jika tidak melakukan prepare," kata Sunaryo dari PT. Trimarga Rekatama --Konsultan Bisnis Sukhoi di Indonesia.
Sebelum hilang kontak, sang pilot meminta izin untuk turun dari ketinggian 10.000 kaki ke 6.000 kaki kepada menara kontrol Bandara Soekarno-Hatta. Sunaryo mempertanyakan mengapa permintaan itu dikabulkan pada koordinat itu. "Pilot minta izin turun, tetapi diizinkan," kata Sunaryo. Namun, dia tidak ingin menduga-duga. Sebab, Trimarga Rekatama sudah menyerahkan sepenuhnya proses investigasi kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). "Kenapa terjadi, itu biar dari KNKT. Itu kewenangan dari KNKT," ujarnya.
Pihak Basarnas membantah pilot itu telah mendapat izin turun ketinggian. Menurut Gagah, menara Soekarno-Hatta belum mengabulkan izin itu. "Dia hanya report ke ATC ke 6.000. Belum dijawab oleh tower dia menabrak, sebelum dia jawab sudah menghilang," kata dia. Gagah menambahkan kecepatan pesawat kala itu 800 km/ jam. "Itu pesawat kecil," tambah dia. Mengapa pilot meminta turun? "Itu biasanya inisiatif dari penerbang, mungkin saja karena cuaca atau kabut tebal," tambah dia.
Kontak terakhir dengan Menara Bandara Soekarno-Hatta, tambah Gagah, pesawat sedang menghindari awan. "Saya pikir karena faktor cuaca, dia akhirnya menghindar," imbuhnya. "Mereka tidak mengenal medan dengan baik."
Sementara, Koordinator Rescue PT Dirgantara Indonesia Bambang Munardi memperkirakan bahwa pesawat Sukhoi Superjet-100 jatuh karena masuk ruang hampa. Itu diduga jadi alasan pilot minta izin turun. Bambang menjelaskan, pesawat kemungkinan masuk ruang hampa udara di ketinggian antara 10.000 kaki sampai 6000 kaki. "Turun drastis dalam waktu relatif singkat. Sangat sulit pesawat bertahan dalam kondisi itu," jelasnya.
Dalam kondisi seperti itu, imbuhnya, pilot pesawat harus memiliki keahlian khusus untuk menstabilkan pesawat. Selain itu, pesawat juga harus punya teknologi untuk mengatasi masalah ini. "Kami belum tahu catatan pilot dan kemampuan teknologi pesawat Sukhoi ini. Kondisi cuaca buruk akibat badai di wilayah Laut China juga berdampak langsung ke kawasan Gunung Salak yang berkontur pegunungan. "Akibatnya sering terjadi turbulensi udara dan tersedianya ruang hampa udara. Ini sangat membahayakan penerbangan," katanya.
Pengamat penerbangan dari Masyarakat Transportasi Indonesia, Suharto Madjid, mengatakan masalah izin ketinggian itu harus ditelusuri. "Saya kira itu salah satu kunci petunjuk kenapa bisa terjadi lost contact," katanya. (VIVAnews)