"Untuk mengembalikan Nazaruddin saja negara keluarkan biaya Rp 4 miliar untuk menyewa pesawat. Tentu denda ini terlalu rendah karena pengusutan kasus korupsi tidak hanya soal pemenjaraan badan, tapi mengembalikan kerugian negara," ujarnya kepada Tempo, Sabtu 21 April 2012.
Kemarin majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Nazar dengan hukuman penjara selama 4 tahun 10 bulan. Majelis hakim juga mewajibkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu membayar denda sebesar Rp 200 juta.
Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum kepada Nazaruddin. Jaksa menuntut terdakwa kasus korupsi Wisma Atlet ini dengan 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta.
Aboe mengatakan vonis itu terlalu ringan, terutama dalam sisi denda. Ia mengatakan seharusnya hakim dan jaksa perlu memahami filosofi penanganan kasus korupsi. "Filosofi penanganan perkara korupsi adalah menyelesaikan persoalan kerugian negara. Nah lantas bila kegiatan yang dilakukan membuat kita tekor, terus gimana," ujar anggota Fraksi PKS ini.
Ia mengatakan dengan vonis yang terus merugikan negara seperti ini masyarakat tentu tidak bisa merasakan asas manfaat dari pemberantasan korupsi. "Harus disadari bahwa pada persoalan penegakan hukum, selain harus memperhatikan aspek kepastian hukum, harus pula memperhatikan aspek kemanfaatan. Dan saya lihat masyarakat belum bisa merasakan manfaat pemberantasan tindak pidana korupsi," ujarnya.
'Tak Wajar Nazar Tak Dibebani Uang Pengganti'
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menyayangkan putusan hakim yang tidak memerintahkan Muhammad Nazaruddin membayar uang pengganti. Padahal, dalam pertimbangan vonis, hakim menyatakan Nazar terbukti menerima komisi Rp 4,6 miliar dari proyek Wisma Atlet Jakabaring. “Tak wajar jika Nazar tidak dibebani uang pengganti,” ujarnya saat dihubungi, Jumat 20 April 2012.
Menurut Yenti, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur kewajiban terdakwa membayar uang pengganti jika hakim menyatakannya terbukti melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Karena itu, putusan hakim yang tidak membebani Nazar dengan uang pengganti dinilai menyalahi rumusan UU.
Keputusan hakim tidak membebankan uang pengganti, disebut Yenti pernah terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dua tahun lalu. Setelah ditelusuri, hakim kasus tersebut ternyata lupa memasukkannya dalam amar putusan. “Ternyata sekarang terulang lagi. Kasusnya besar pula,” ujarnya.
Dalam sidang hari ini di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Nazaruddin dinyatakan terbukti bersalah menerima gratifikasi. Ia dihukum penjara empat tahun sepuluh bulan, dan denda Rp 200 juta subsider empat bulan penjara. Hakim menilai Nazar sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat terbukti menerima pemberian dari PT Duta Graha Indah.
Pasal yang digunakan hakim sebagai pertimbangan putusan berbeda dengan jaksa. Hakim menilai Nazar terbukti melanggar pasal gratifikasi, sedangkan jaksa menilai Nazar terbukti melanggar pasal suap. Hakim beralasan, saat perkara terjadi Nazar berstatus anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun proyek Wisma Atlet anggarannya dibahas di Komisi Olahraga. (tempo)