"Karena cost politic mahal. Sangat mahal. Untuk menjadi Kepala Daerah tidak murah," papar ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (25/2/2012).
Sebagai contoh di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, seseorang yang ingin menjadi Kepala Daerah harus merogoh kocek guna disetor kepada partai yang akan menjadi kendaraan dalam Pemilu Kada. Jumlahnya yaitu Rp 8 miliar untuk posisi bupati dan Rp 4 miliar untuk posisi wakil bupati. Belum lagi biaya teknis kampanye hingga pemenangan Pemilu Kada.
"Dengan jumlah modal sebanyak itu, maka yang dia pikirkan adalah bagaimana mengembalikan modal saat menjabat. Berbagai modus korupsi dilakukan," papar doktor di bidang pidana korupsi ini.
Bagi pejabat karier, mereka korupsi karena tekanan eksternal yaitu diminta oleh atasannya untuk melakukan korupsi. Adapun tekanan internal karena ingin bergaya hidup mewah, kebutuhan keluarga dan sebagainya.
"Apalagi jika yang menjadi PNS nya karena nyuap, harus berpikir bagaimana mengembalikan modal. Selain ada kesempatan juga ada keinginan maka jadilah korupsi," ungkapnya.
Saat ini, kejaksaan di berbagai tempat terus memburu para pemimpin daerah yang diduga terlibat berbagai perkara korupsi. Seperti Ketua DPRD Grobogan, M Yaeni, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto, Satori Suarto, mantan Walikota Magelang, mantan Gubernur Sulawesi Selatan HM Amin Syam dan yang baru dihukum 2 tahun penjara oleh PN Tipikor Jakarta, Bupati Nonaktif Seluma, Bengkulu, Murman Effendi.
"Selain di pidana, dengan korupsi maka tamat karier politik atau karier kerja seseorang. Tapi mengapa tidak kapok?," ucap Hibnu sambil bertanya balik.
Ini Dia 4 Modus Korupsi Para Pemimpin Daerah
Perang terhadap korupsi tidak menyurutkan nyali penyelenggara negara menggarong uang rakyat. Tidak terkecuali para pemimpin daerah, seperti Bupati nonaktif Subang, Jawa Barat Eep Hidayat yang dihukum Mahkamah Agung (MA) selama 5 tahun penjara padahal di tingkat pertama dia dibebaskan.
Lantas, bagaimana para pemimpin daerah bermain-main anggaran sehingga uang rakyat masuk ke kantong pribadi?
"Modus yang pertama yaitu dengan penggelembungan anggaran/penurunan anggaran. Harga barang di pasaran Rp 100 tapi di anggaran menjadi Rp 500. Selisihnya masuk kantong," papar ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (25/2/2012).
Dalam modus ini, pemimpin daerah ramai-ramai korupsi berjamaah dengan para koleganya. Dari kepala dinas, hingga pejabat teknis. Seperti pembebasan lahan untuk tanah kuburan, pembebasan lahan untuk proyek tenaga listrik, proyek pengadaan buku ajar sekolah dan sebagainya
"Modus kedua, main mata dalam tender. Meski saat ini sudah banyak tender online tetap saja banyak yang masih bermain," ungkap doktor di bidang pidana korupsi ini.
Modus ketiga yaitu melegitimasi korupsi dengan membuat Peraturan Daerah (Perda). Korupsi ini dilakukan berjamaah antara anggota DPRD dan Kepala Daerah. "Tapi dengan UU Tipikor baru bahwa korupsi tidak lagi delik formil tetapi menjadi delik materiil, maka hal seperti ini bisa diusut. Kalau dulu tidak bisa," papar Hibnu.
Modus terakhir yaitu menjadi calo penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Para pejabat daerah ini menarik uang haram dari para peminat PNS hingga nilainya ratusan juta rupiah.
"Moratorium penerimaan PNS hingga akhir 2012 sangat menohok dan tamparan yang sangat keras. Para calo yang juga pejabat daerah ini rugi besar-besaran. Sebab dari bisnis kursi PNS ini harganya ratusan juta rupiah," ungkap Hibnu.
Selain menjebloskan Bupati nonaktif Subang, kejaksaan juga terus memburu para pemimpin daerah yang diduga terlibat berbagai perkara korupsi. Seperti Ketua DPRD Grobogan, M Yaeni, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto, Satori Suarto, mantan Walikota Magelang, mantan Gubernur Sulawesi Selatan HM Amin Syam dan yang baru dihukum 2 tahun penjara oleh PN Tipikor Jakarta, Bupati Nonaktif Seluma, Bengkulu, Murman Effendi.
(detikNews)