Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan baru terkait syarat kelulusan mahasiswa S1, S2, dan S3. Syarat baru tersebut adalah harus menulis makalah yang dimuat di jurnal ilmiah.

Kebijakan baru yang "dahsyat" tersebut tertuang dalam surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud yang ditujukan kepada seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah air.
Syarat ini bahkan akan berlaku efektif tahun ini, yaitu mulai kelulusan setelah Agustus 2012.

Dirjen Dikti Kemendikbud, Djoko Santoso, dalam surat edarannya mengungkapkan alasan diberlakukannya kebijakan itu:
Rabu, 15 Februari 2012

Logiskah Syarat Lulus S1: Masuk Jurnal Ilmiah?
Kini, gelar sarjana tak bisa diraih hanya dengan menulis skripsi
"Sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini, jumlah karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Indonesia secara total masih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia, hanya sekitar sepertujuh. Hal ini menjadi tantangan kita bersama untuk meningkatkannya. Sehubungan dengan itu terhitung mulai kelulusan setelah Agustus 2012 diberlukan ketentuan sebagai berikut:

Untuk program Sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah.
Untuk program Magister harus telah menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah terakreditasi Dikti.
Untuk program Doktor harus telah menghasilkan makalah yang terbit di jurnal internasional."

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menyatakan pihaknya kini tengah menyosialisasikan kebijakan baru tersebut. Nuh bersikukuh kebijakan baru tersebut harus dijalankan. “Maksud kebijakan itu untuk menumbuhkan budaya akademik. S1 itu kuliah empat tahun, lho. Masak nulis saja tidak bisa?” kata Nuh di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa 14 Februari 2012.

Nuh menekankan, kewajiban publikasi ilmiah sebagai syarat lulus S1 itu sangat perlu untuk memicu peningkatan kualitas akademis. “Coba bayangkan kalau dia menulis tapi tidak berkualitas. Dia kan sarjana, bukan lulusan SMA,” ujar Nuh.

Bagi perguruan tinggi yang merasa tidak mampu merealisasikan kebijakan itu, Nuh meminta mereka untuk mengajukan permintaan bantuan kepada kementeriannya. 

Jangan paksa

Anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, Rohmani, menilai kebijakan baru yang dikeluarkan Kemendikbud itu memiliki tujuan yang bagus. Namun ia menekankan agar kebijakan tersebut tidak serta-merta dipaksakan.

Rohmani mengingatkan kualitas satu perguruan tinggi dengan lainnya tak sama. “Kalau ingin mendapatkan hasil maksimal dan optimal, sementara kualitas pendidikan kurang bagus, bagaimana hasilnya nanti?” dia mempertanyakan.

Karena itu, Rohmani meminta agar kebijakan itu dilakukan secara bertahap. Ia pun berpendapat kebijakan syarat publikasi ilmiah itu belum bisa diberlakukan dalam waktu dekat. Menurutnya, banyak perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang belum semua siap menerapkannya.

Ketidaksiapan itu, kata Rohmani, adalah karena pendidikan tinggi di Indonesia umumnya masih mengedepankan nilai indeks prestasi kumulatif (IPK), namun abai terhadap kompetensi yang sesungguhnya. Jadi apabila pemerintah serius ingin menerapkan kebijakan publikasi ilmiah, Rohmani meminta metoda penerimaan mahasiswa yang menekankan pada nilai semata, dirombak.

Jika kebijakan publikasi ilmiah dipaksakan dalam waktu dekat, Rohmani khawatir akan berdampak buruk. “Banyak mahasiswa yang secara kompetensi tidak bisa riset, tidak pandai menulis, sehingga ini akan jadi beban berat buat mereka,” ujarnya. “Akibatnya, akan banyak sekali mahasiswa yang kuliahnya menjadi lama. Biro penulisan karya ilmiah pun akan menjamur. Akhirnya, tulisan mahasiswa bukan asli lagi."

Hati-hati plagiarisme

Wakil Rektor Bidang Pendidikan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Gadjah Mada, Dr. Retno S. Sudibyo, berpendapat syarat publikasi ilmiah adalah kebijakan yang bagus. Namun ia meminta pemerintah untuk menyiapkan infrastruktur guna menunjang kebijakan tersebut, sebelum menerapkannya secara konkret.

UGM juga meminta pemerintah untuk melaksanakan kebijakan itu secara bertahap. Retno mengungkapkan blak-blakan, apabila Kemendikbud memaksakan kebijakan tersebut diterapkan dalam waktu dekat atau per Agustus 2012 ini, UGM belum siap.

“Kami justru mengkhawatirkan plagiarisme bakal marak akibat kebijakan ini,” kata Retno saat dihubungi VIVAnews. “Seperti kasus doktor di Bandung yang mencomot tulisan dari sana-sini untuk dirangkai menjadi karya ilmiah.”

Dia menegaskan perlu aturan sendiri agar tulisan yang telah dipublikasikan di jurnal ilmiah mendapat perlindungan hak intelektual yang semestinya. “Kadang judul tulisan sama tapi isinya berbeda. Ini harus ada aturan supaya tidak saling plagiat,” ujar Retno.

UGM berpandangan syarat publikasi ilmiah belum saatnya dilaksanakan tahun 2012 ini karena banyak persiapan khusus yang harus dilakukan. “Pikirkan pula apabila suatu tulisan sudah dimuat di jurnal ilmiah, lantas bagaimana mengurus hak intelektualnya,” ucap Retno.

Ia mengingatkan biaya untuk mengurus hak intelektual di Indonesia sangat tinggi. Belum lagi proses pengurusannya yang panjang dan tidak bisa cepat. “Jadi siapa yang nantinya harus membayar itu? Apakah akan dibebankan semua kepada mahasiswa?” kata Retno.

UGM juga meminta pemerintah mempertimbangkan kuantitas mahasiswa Indonesia yang teramat besar. Perguruan tinggi negeri di Indonesia saat ini berjumlah 80-an, sedangkan perguruan tinggi swasta bahkan lebih banyak lagi--sekitar 2.600.

“Jadi harus bagaimana memuat karya mahasiswa di semua perguruan tingggi itu ke dalam jurnal ilmiah? Berapa judul yang harus diterbitkan? Bagaimana pula melindungi data di jurnal ilmiah agar tidak dicontek?” tanya Retno bertubi-tubi.

Pada akhirnya, UGM kembali menegaskan sikapnya: pemerintah harus menyiapkan infrastruktur terlebih dahulu guna mendukung kebijakan publikasi ilmiah. “Kalau di luar negeri mungkin sudah siap, tapi di Indonesia belum,” Retno menegaskan. (kd)

• VIVAnews
ilustrasi: wisuda
      Berita Nasional :