Yogyakarta - Gunung Merapi kembali menunjukkan aktivitasnya setelah terakhir mengalami erupsi pada November 2010. Menurut catatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, dalam satu minggu terakhir terjadi gempa vulkanik B rata-rata lima kali per hari. Sedangkan gempa multiphase (MP) antara 20 sampai 30 kali per hari.
Sebelumnya, gempa MP yang terjadi di Merapi masih di bawah lima kali dalam satu hari. Sedangkan untuk gempa vulkanik sangat jarang terjadi, bahkan belum tentu terjadi dalam sehari.
"Hari ini (kemarin, red) beberapa gempa vulkanik dangkap dan gempa MP terjadi secara beruntun. Juga terjadi gempa vulkanik yang cukup besar magnitudenya. Jadi memang benar ada peningkatan aktivitas, tapi dari data lain seperti deformasi, kimia maupun visual belum nampak adanya perubahan," terang Kepala BPPTK, Subandrio, Kamis (16/2/2012).
Lebih lanjut ia menjelaskan, peningkatan aktivitas kemungkinan besar disebabkan adanya akumulasi tekanan magma di bawah sumbat Gunung Merapi. Tetapi, pihaknya belum bisa menyimpulkan bahwa aktivitas ini harus diakhiri dengan suatu erupsi.
"Ini merupakan gelaja sangat awal yang perlu direspon secara proporsional, tak perlu dengan kepanikan," imbuh Subandrio.
Jika ditilik secara visual, lanjutnya, sampai sekarang belum menampakkan suatu perubahan sama sekali. Ketinggian asap dari puncak pun normal, sekitar 500 meter dengan warna putih tebal yang dominan mengandung uap air.
"Mengenai status, kami belum berpikir ke arah sana. Belum ada rencana atau pertimbangan untuk meninjau status. Kami akan lihat dalam beberapa hari mendatang kemudia kami evaluasi dari data-data lain, baru akan ditinjau status aktivitas Merapi. Tapi sampai saat ini masih dalam tingkat status normal," tandas Subandrio.
Menurutnya, prasyarat untuk menaikkan status gunung api tidak bisa dideskripsikan. Karena tak ada ukuran pasti di gunung api manapun di dunia. Sehingga diperlukan analisa secara komprehensif dari berbagai parameter, juga dibutuhkan pengalaman historis letusan Merapi dan lain sebagainya yang tidak bisa didefiniskan secara eksak.
Dari data deformasi awal September sampai terjadinya erupsi tahun 2010, deformasi mencapai sekitar tiga meter. Dari kegempaan di tingkat status waspada terjadi ratusan kali gempa MP dalam satu hari. "Deformasi untuk sekarang ini masih nol. Artinya tidak terjadi pembengkakan apa-apa," tambah Subandrio.
Mengenai masa istirahat Merapi yang baru satu tahun setelah erupsi terakhir, ia memamaparkan, bahwa masa sitirahat/frekuensi letusan Merapi sangatlah acak. Pada tahun 1997 pernah terjadi letusan dan diikuti letusan berikutnya di tahun 1998. Namun, Merapi juga pernah beristirahat dalam periode yang cukup lama, sekitar 1x tahun dari letusan terakhir.
"Jadi, rata-rata empat tahun letusan Merapi hanyalah statistik saja. Terlebih kebetulan letusan terakhir terjadi tahun 2010 dan letusan sebelumnya tahun 2006. Orang menjadi mengasumsikan letusan terjadi setiap empat tahun sekali. Tetapi sesungguhnya sama sekali tidak bisa dipastikan," tutur Subandrio.
Oleh karena itu, diperlukan monitoring secara berkelanjutan agar jika terjadi perubahan mendadak bisa diamati dengan baik.
BPPTK telah melakukan recovery alat sistem monitoring yang sempat rusak akibat erupsi Merapi tahun 2010. Bahkan alat monitoring lebih banyak daripada sebelumnya. Jika sebelunya alat seismik hanya ada lima, sekarang ditambah menjadi sepuluh stasiun. Ada pula GPS online, juga telah dipasang tiltmeter yang berfungsi mengukur kemiringan lereng Merapi.
"Apa yang ditunjukkan dari aktivitas Merapi sama sekali tidak terlihat oleh kasat mata. Ini hanya tercatat oleh peralatan monitoring. Sehingga masyarakat tidak perlu panik dalam merespon aktivitas Merapi sekarang ini," pungkas Subandrio. (Tribunnews)