Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta - Koruptor seharusnya divonis hukuman berat, seperti teroris, bahkan hukuman mati, seperti di China.

Namun, sebetulnya koruptor lebih takut jika hukumannya berupa pemiskinan terhadap diri dan keluarganya. Sebab, hukuman badan ternyata tak memberikan efek jera.

Nyata, meski banyak sekali koruptor yang masuk penjara, korupsi tetap jalan terus.
Rabu, 07 Maret 2012

Hukuman Penjara Tak Memberikan Efek Jera, Miskinkan Koruptor
Belum lagi masa hukuman penjara bagi koruptor cenderung lebih ringan dan tak sebanding dengan jumlah kekayaan yang dicuri. ”Karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik lebih banyak tipologinya karena serakah. Jadi, memiskinkan koruptor merupakan sarana ampuh. Tesisnya, koruptor lebih takut miskin daripada dipenjara,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, di Jakarta, Sabtu (18/2/2012).

Hukuman badan memang dianggap tak sebanding dengan perbuatan koruptor. Dalam kasus suap pemilihan deputi gubernur senior (DGS) Bank Indonesia, misalnya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima suap rata-rata dihukum satu tahun hingga dua tahun penjara. Mereka menerima uang suap dalam bentuk cek perjalanan senilai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Vonis majelis hakim tak meminta agar terpidana penerima suap pemilihan DGS BI mengembalikan uang yang telah mereka terima.

Menurut Donal, cara memiskinkan koruptor bisa dengan mengejar semua aset yang berhubungan dengan kejahatan korupsinya. ”Prinsipnya follow the money, ikuti ke mana uangnya, dengan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang karena hampir semua tindak pidana korupsi itu ada unsur pencucian uangnya. Menyimpan di bank pun sudah tergolong pencucian uang,” katanya.

Febri Diansyah juga dari ICW mengatakan, pemiskinan menjadi cara efektif agar ada efek jera bagi koruptor. Majelis hakim harus berani meminta setiap orang yang terbukti korupsi membuktikan sebaliknya harta kekayaannya. ”Sehingga kekayaan yang berasal dari penghasilan tidak sah, baik terkait korupsi yang sedang diproses atau kejahatan lain yang belum terungkap, harus dirampas negara,” katanya. Sayangnya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset.

”Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang sekarang baru mengatur pembuktian terbalik setengah hati. Memang kita bisa memaksimalkan penerapan UU Pencucian Uang karena ada aturan yang mewajibkan terdakwa membuktikan perolehan hartanya bukan berasal dari kejahatan,” katanya.

Secara terpisah, Ketua Serikat Pejuang Anti Korupsi (Sepak) Priyanto dalam deklarasi pendirian Sepak, Sabtu, mengatakan, hukuman koruptor seharusnya hukuman berat seperti teroris, bahkan sebagian semestinya dihukum mati seperti di China.

”Sampai tahun 2007, Pemerintah China telah menghukum mati 4.800 pejabat negara yang terlibat korupsi,” kata Priyanto.

Sementara di Indonesia, vonis maksimal adalah 10 tahun penjara. Realitanya, para koruptor rata-rata hanya dihukum empat tahun penjara, bahkan banyak yang dua tahun saja,” katanya. Korupsi dinilai sudah mewabah dan penegakan hukum juga ditunggangi kepentingan politik. Ada beberapa kasus besar yang melibatkan politikus tetapi belum diselesaikan KPK.


Presiden Dukung Vonis Pemiskinan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung vonis yang memiskinkan pelaku korupsi. Putusan hakim yang menyita semua harta pelaku korupsi dinilai bisa memberikan efek jera. Hukuman ini juga bisa membuat orang berpikir ulang sebelum melakukan korupsi.

”Hal ini membuat upaya memerangi korupsi menjadi lebih efektif dengan timbulnya efek jera. Ada unsur preventif. Mereka yang ingin melakukan korupsi diharapkan semakin berkurang,” kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Jumat (2/3), di Bina Graha, Jakarta.

Gayus HP Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Kamis, kembali dihukum enam tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang. Ia juga dihukum denda Rp 1 miliar subsider empat bulan kurungan dan semua hartanya yang terkait kasus itu disita untuk negara. Dalam tiga kasus lain sebelumnya, Gayus juga divonis total selama 22 tahun penjara.

Total uang milik Gayus yang disita adalah Rp 74 miliar dan disimpan di sejumlah rekening. Uang itu dititipkan di Bank Indonesia (BI). Majelis hakim juga memerintahkan agar aset Gayus berupa mobil Honda Jazz; mobil Ford Everest; rumah di Gading Park View, Kelapa Gading, Jakarta Utara; dan 31 batang emas masing-masing 100 gram juga disita untuk negara.

Menurut Julian, korupsi sama sekali tidak bisa diterima. ”Praktik korupsi dalam bentuk apa pun, jika itu terbukti secara hukum, harus ditindak. Kerugian yang ditimbulkan oleh koruptor harus dikembalikan kepada negara,” ungkapnya. Terkait Dhana Widyatmika, mantan pegawai pajak, yang memiliki simpanan Rp 60 miliar, menurut Julian, Presiden tidak memberikan instruksi khusus. ”Yang jelas kasus ini harus dituntaskan. Pada saat kasus Gayus Tambunan muncul pertama kali, Presiden memberikan instruksi kepada Kementerian Keuangan untuk melakukan koreksi dan evaluasi internal secara menyeluruh sehingga tidak memungkinkan ada ruang untuk melakukan korupsi di instansi itu,” ujarnya. (kompas)
      Berita Daerah  :

      Berita Nasional :