Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta - Program bantuan langsung tunai (BLT) untuk rakyat miskin akan menjadi bahan pertarungan bagi seluruh partai politik jika harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi hendak dinaikkan.

Pasalnya, BLT akan menjadi "surga" bagi Partai Demokrat dan "neraka" bagi partai lain, tak terkecuali partai koalisi.
Senin, 12 Maret 2012

LSI: BLT Untungkan Demokrat, Rugikan Partai Lain
Ratusan warga mengantre untuk mendapatkan pembagian bantuan langsung tunai (BLT)
Hal itu terlihat dari hasil jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia yang dirilis oleh peneliti LSI, Adjie Alfaraby, di kantor LSI, Jakarta, Minggu (11/3/2012). Survei itu dilakukan pada 5-8 Maret 2012 terhadap 440 responden yang dipilih secara random.

Berdasarkan hasil survei itu, sebanyak 54,2 persen responden akan menyalahkan Partai Demokrat jika harga BBM jadi dinaikkan. Partai koalisi lainnya hanya disalahkan oleh 11,5 persen responden. Adapun 34,1 persen responden tak menjawab.

Dari survei itu juga diketahui bahwa 69,4 persen responden setuju dengan program BLT, seperti dilakukan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2008 . Hanya 28,6 persen tidak setuju dan 1,6 persen tidak menjawab.

Siapa tokoh yang mendapat "durian runtuh" jika BLT dilaksanakan? Sebesar 53,7 persen responden menilai Presiden Yudhoyono paling berjasa mendorong penerapan BLT. Sisanya, responden berpendapat bahwa para menterilah yang paling berjasa.

Partai mana yang paling diuntungkan dengan adanya BLT? Sebesar 54,3 persen responden menganggap Partai Demokrat paling berjasa mendorong penerapan BLT. Adapun PDI-P hanya dinilai oleh 8,1 persen dan Partai Golkar sebesar 7,8 persen.

Berdasarkan data itu, kekecewaan publik terhadap Demokrat dan SBY, jika harga BBM dinaikkan, dapat dinetralkan dengan program BLT. Jika berkaca pada penerapan BLT tahun 2008, menurut Adjie, SBY digambarkan sebagai orang yang ingin berbuat baik kepada rakyat.

"Jika harga BBM dinaikkan tanpa program BLT atau sejenisnya, akan menjadi musibah politik bagi Demokrat dan SBY. Dukungan atas keduanya segera anjlok ke posisi terendah sejak tahun 2009," kata Adjie.

Keuntungan bagi Demokrat dari BLT itu dapat menjadi "senjata" yang merugikan partai lain. Contohnya, kata Adjie, Partai Golkar mendapat getah dari kenaikan harga BBM tahun 2005. Golkar tak mendapat keuntungan ketika pemerintah menurunkan harga BBM tahun 2008. "Program ini (penurunan harga BBM) lebih dikapitalisasi sebagai program SBY dan Demokrat. Golkar tak mendapat berkahnya," ucap Adjie.

Partai yang menolak program BLT hanya membuat blunder. Sebagai contoh, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarno Putri mengkritik BLT dengan menyebut program itu hanya membuat mental rakyat seperti peminta-minta dan pemerintah seperti sinterklas. Hal itu disampaikan Megawati pada Maret 2009.

Pidato Megawati itu, tambah Adjie, dimanfaatkan oleh lawan politiknya untuk mencari dukungan. Padahal, penerima BLT adalah wong cilik yang menjadi kekuatan utama PDI-P. Wong cilik dengan mudah digiring pindah ke Partai Demokrat.

"Nantinya, Parpol akan sangat hati-hati sikapi program BLT. Program ini sangat disukai publik. Ketika ada yang menolak, akan jadi catatan publik," kata Adjie.

Seperti diketahui, para politisi di DPR sudah bereaksi keras atas usul pemerintah memberikan kompensasi bagi rakyat yang terkena dampak kenaikan harga BBM, salah satunya berupa bantuan langsung. Wakil Ketua DPR Pramono Anung meyakini fraksi di DPR, kecuali Demokrat, akan menolak program itu.

"Kalau skenarionya masih sama (BLT), akan banyak fraksi keberatan. Bukan kita menolak BLT, tapi itu dapat menjadi instrumen politik untuk partai penguasa. Kita belajar pengalaman tahun 2008, 2009. Itu akhirnya tak lagi menjadi alat untuk bantu masyarakat, tapi jadi alat kekuasaan politik. Kalau itu diulangi, tidak fair," kata Pramono. (kompas.com)

      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :