"Dari jumlah tersebut belum ditambah dengan jumlah sisa perkara pada tahun 2010 yang berjumlah 113.300, sehingga total beban perkara di tahun 2011 berjumlah 5.319.522 perkara," kata Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa saat membacakan laporan akhir tahun 2011 di Gedung MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta (28/2/2012).
Dari jumlah tersebut mengalami kenaikan hingga 70 persen dari tahun 2010 yang menerima 3.051.717 perkara. Dari keseluruhan beban tersebut, pengadilan berhasil memutus sebanyak 5.189.266. "Sehingga sisa perkara pada akhir Desember 2011 berjumlah 130.256 perkara," papar Harifin.
Sementara rincian perkara yang di terima oleh masing masing lingkungan peradilan tingkat pertama di seluruh Indonesia setelah ditambah sisa perkara pada tahun 2010 adalah
1. Peradilan Umum sebanyak 4.854.111 perkara
2. Peradilan Agama sebanyak 426.208 perkara
3. peradilan Militer sebanyak 3.429 perkara
4. Peradilan TUN sebanyak 1.870 Perkara
5. Peradilan Pajak sebanyak 16.531 Perkara
Ketua MA: Pencurian 6 Piring, Rasminah Tak Perlu Ditahan
Banyaknya kasus kecil seperti pencurian 6 piring oleh Rasminah mengusik hati nurani Mahkamah Agung (MA). Alhasil, MA mengeluarkan Peraturan MA (Perma) yang melarang penahanan terhadap pelaku kasus pencurian ringan dengan nilai di bawah Rp 2,5 juta.
"Perkara seperti sandal jepit tidak perlu lagi orang itu ditahan, satu hari (sidang) saja selesai," kata Ketua MA, Harifin Andi Tumpa di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (28/2/2012).
"Tidak perlu saksi harus dipangggil, terdakwa harus ditahan. Tidak usah lagi ada gonjang-ganjing anak yang di persidangan," ungkap Harifin.
Menurut Harifin, banyaknya kasus kecil sampai ke pengadilan karena pasal KUHP yang menyebut pencurian ringan maksimal kerugian Rp 250. Dengan kondisi sosial ekonomi sekarang, maka tidak ada lagi pencurian yang dikategorikan ringan. Nilai kerugian maksimal inilah yang diubah oleh MA.
"Kalau di atas Rp 250, berarti tidak ada lagi perkara yang dianggap ringan, termasuk sandal jepit, kakao, randu, itu perkara biasa semua, orang bisa ditahan," ujar Harifin. Dia berharap pembatasan ini juga tidak hanya berlaku pada perkara pidana semata. Tetapi juga pada kasus perdata. "Misalnya dalam perkara perdata, berapa sih nilai gugatan yang mestinya boleh kasasi? Sehingga kemudian bisa mengurangi beban MA," harap Harifin.
Inilah Alasan Pencurian di Bawah Rp 2,5 Juta Tidak Perlu Ditahan
Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan hukum terkait pencurian dengan kerugian di bawah Rp 2,5 juta. Yaitu pelaku maksimal dihukum 3 bulan penjara, hakim tidak bisa menahan dan masuk sebagai tindak pidana ringan (tipiring). Lantas apa alasannya?
"Sebab aturan Pasal 364 KUHP sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Di situ disebut minimal kerugian Rp 250. Itu batasan pada tahun 1960," kata Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju, pada detikcom, Selasa (28/2/2012). ICJR adalah lembaga yang ikut menggodok lahirnya Perma tersebut.
Anggara menilai kerugian dalam tindak pidana ringan sebesar Rp 250 sebagaimana diatur dengan Perpu No 16/ 1960 sudah tidak sesuai lagi dengan nilai barang dan situasi sosial ekonomi masyarakat. Apalagi belakangan terakhir muncul kasus pencurian sandal jepit oleh AAL, pencurian 6 piring oleh Rasminah dan pencurian buah kakao oleh Nenek Minah.
"Banyak ketidaksesuaian itu berakibat pada maraknya kasus-kasus yang sebenarnya tergolong tindak pidana ringan namun diperlakukan sebagai tindak pidana biasa. Sehingga para tersangka tersebut ditahan dan diadili berdasarkan ketentuan Acara Biasa sebagaimana diatur dalam KUHAP," paparnya. Alasan selanjutnya, saat ini terdakwa pencurian kecil memenuhi rumah tahanan (rutan). Kasus pencurian ini masuk dalam 5 jenis tindak pindana pengisi terbanyak rutan di Indonesia.
"Pemerintah sering mengeluh jika rutan penuh dengan tahanan. Salah satunya pencurian dengan kerugian kecil," papar Anggara memberikan alasan.
Seperti diketahui, KUHP diberlakukan pada tahun 1856 di zaman kolonial Hindia Belanda. Saat itu kerugian di bawah Rp 25 dianggap sebagai tindak pidana ringan. Seiring zaman, pada 1960 diubah menjadi maksimal Rp 250 rupiah. Kini setelah 50 tahun berubah menjadi Rp 2,5 juta.
(detikNews)