Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta - Kalangan majikan dan agen penyalur pembantu rumah tangga  (PRT) di Malaysia mengakui tingginya ketergantungan atas tenaga dari Indonesia. Walau ada penghentian ekspor jasa PRT Indonesia ke Malaysia selama dua tahun, 2009-2011, minat warga Negeri Jiran untuk merekrut pekerja informal dari negeri ini masih besar.

Namun, lebih dari dua tahun menunggu, kalangan majikan mulai pesimistis akan datangnya lagi PRT asal Indonesia. Padahal saat ini mereka sangat berharap setelah pemerintah Indonesia memutuskan mencabut moratorium pengiriman pembantu ke Negeri Jiran setelah bersepakat dengan pemerintah Malaysia mengenai jaminan keamanan dan hak-hak pekerja.

Setelah bersepakat dengan Malaysia, pemerintah Indonesia mencabut moratorium Desember tahun lalu.
Kamis, 01 Maret 2012

Bila Malaysia Merindukan Pembantu Indonesia
Sudah dua tahun pembantu Indonesia memboikot Malaysia. Kini mereka kelabakan.
Unjuk Rasa TKI di Kedubes Malaysia

Namun para pembantu asal Indonesia belum kunjung datang ke Malaysia. Selain masih terkendala syarat administratif yang lebih ketat, muncul kesan di kalangan calon PRT Indonesia bahwa Malaysia menjadi tempat yang berbahaya bagi mereka dengan merujuk pada kasus-kasus kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi yang menyebabkan adanya moratorium. Padahal kalangan majikan sudah berharap mereka segera datang. "Sudah terlalu lama ditunda dan terlalu banyak alasan yang muncul. Namun, masih belum ada tanda-tanda dari mereka," kata Engku Ahmad Engku Muhsein, ketua perkumpulan Malaysia Maid Employers' Association (Mama), seperti dikutip harian The Star Selasa kemarin.

Pada hari yang sama, Direktur Jenderal dari Kementerian Tenaga Kerja Malaysia, Sheikh Yahya Mohamed, mengatakan bahwa para PRT Indonesia seharusnya bisa dikirim lagi ke negaranya mulai awal Maret. Namun, pengiriman itu tampaknya ditunda selama sebulan. Penundaan ini terkait dengan belum siapnya pihak dari Indonesia dalam memberi pelatihan yang memadai bagi para calon PRT. Selain itu, pihak Malaysia juga belum melengkapi syarat aplikasi.

Menurut harian The New Straits Times, tertundanya pengiriman PRT dari Indonesia bahkan bisa berlanjut hingga Juni 2012 karena para agen belum siap menyiapkan data diri calon pekerja maupun kelengkapan lain. Sebanyak 50 dari 121 agen PRT yang terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja Malaysia mengaku belum ada pengiriman PRT dari Indonesia. Alasan lain, mitra mereka di Indonesia masih belum sepakat soal komisi perekrutan PRT.

Penundaan ini menyebabkan kalangan majikan mulai frustrasi. "Kami seharusnya jangan lagi bergantung pada Indonesia soal penyediaan PRT," kata Engku Ahmad. "Kami perlu melihat negara-negara lain," lanjut dia.

Selain dari Indonesia, menurut Engku Ahmad, kalangan majikan berharap Kamboja juga mencabut moratorium. Tadinya Kamboja mengirim sekitar 30.000 PRT ke Malaysia, sebelum akhirnya dihentikan pada Oktober tahun lalu. Sama seperti alasan Indonesia, Kamboja terpaksa memberlakukan moratorium lantaran sudah banyak kasus penganiayaan dan kesewenang-wenangan atas warga mereka yang menjadi PRT di Malaysia. Pemerintah Malaysia harus memberi jaminan keamanan dan hak-hak yang layak bagi para PRT.

Terlepas dari kekurangan sebagian besar PRT Indonesia, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan disiplin yang kurang, mereka tetap laku dicari para majikan di Malaysia. Ini tak lepas dari faktor persamaan budaya dan bahasa.

Harus Berebut

Masih tingginya minat majikan Malaysia atas PRT Indonesia dilihat dari antusiasme para agen untuk segera merekrut mereka dari tanah air begitu moratorium dicabut akhir tahun lalu. Laman surat kabar The Sun Daily pada 9 Februari 2012 mengungkapkan bahwa 120 agen penyalur PRT di Malaysia berebut untuk mendatangkan tenaga baru dari Indonesia.

Sebanyak 50 agen sudah mendapat lampu hijau untuk merekrut gelombang pertama PRT, yang direncanakan baru berlangsung Maret mendatang. Sebenarnya para agen berharap pada tahap pertama, Indonesia bisa mengirim 2.000 hingga 3.000 PRT. Namun pihak berwenang di Indonesia hanya mengizinkan 200-300 orang untuk setiap kloter pengiriman. "Ini menyebabkan tidak hanya para agen yang 'bertarung,' para majikan yang berminat pun bisa jadi harus berebut untuk merekrut para pembantu," tulis laporan surat kabar itu.

Ketua perhimpunan Malaysian Association of Foreign Maid Agecies (Papa), Jeffrey Foo, mengungkapkan bahwa banyak agen penyalur yang menjadi anggota lembaga itu sudah bersiap merekrut PRT Indonesia dan rata-rata mereka menargetkan 2.000 orang. Namun, target sebanyak itu sulit terwujud karena membutuhkan kelengkapan dan syarat administrasi yang cukup panjang. Maka baru sekitar 50 agen yang sudah benar-benar siap, termasuk yang telah menandatangani kesepakatan dengan para agen mitra mereka di Indonesia.

Tempat Berbahaya

Masalahnya, mendatangkan para pekerja informal dari Indonesia tidak semudah di masa lampau. Selain persyaratan administratif yang kian ketat serta masalah penentuan pembagian komisi yang belum tuntas dengan mitra mereka di Indonesia, para agen di Malaysia harus berupaya keras untuk memastikan bahwa PRT yang akan mereka rekrut tidak lagi rentan menjadi sasaran kekerasan dan penganiayaan dari majikan. Merujuk pada beragam kasus kekerasan atas para PRT Indonesia - sehingga membuat Pemerintah RI memberlakukan moratorium pada Juni 2009 - sudah banyak calon pekerja informal di sini yang masih pikir-pikir untuk bekerja di Negeri Jiran. Mereka tidak mau lagi jadi korban, baik sebagai target pemerasan dari agen hingga penganiayaan oleh majikan.

LSM pembela hak-hak buruh di Malaysia, Tenaganita, sudah memperhatikan gejala itu. Menurut hasil suatu studi, Tenaganita mendapati bahwa para keluarga calon PRT di Indonesia tidak ingin mengirim anak-anak perempuan mereka ke Malaysia bila nyawa mereka terancam.

Menurut Irene Fernandez, Direktur Eksekutif Tenaganita, Nota Kesepahaman (MoU) yang membuat Indonesia bersepakat dengan Malaysia untuk mencabut moratorium ternyata belum sepenuhnya menjamin perlindungan dan hak-hak bagi PRT.

"MoU yang ditandangani dengan Indonesia tidak melindungi hak-hak bagi PRT di Malaysia. Undang-undang tenaga kerja Malaysia tidak mengakui mereka sebagai pekerja, melainkan sebagai pembantu. Ini bisa menjadi celah untuk eksploitasi," kata Fernandez, yang dikutip surat kabar Free Malaysia Today. Menurut dia, berdasarkan hasil studi Tenaganita, Malaysia masih dilihat sebagai tempat yang berbahaya bagi PRT asing. "Sejumlah media baru-baru ini melaporkan ada pembantu yang dikurung berhari-hari dengan makanan yang sedikit dan ada yang dianiaya berat atau bahkan ditemukan tewas. Itulah yang memperkuat anggapan itu," kata Fernandez.

Bagi dia, moratorium yang diberlakukan Indonesia selama dua tahun lebih itu bisa menjadi pelajaran bagi kaum majikan di Malaysia bahwa mereka tidak bisa seenaknya menganiaya atau memperlakukan sewenang-wenang kepada pembantu. Pemerintah Malaysia pun harus serius menjamin perlindungan fisik dan hak-hak bagi mereka. (VIVAnews)
      Berita Nasional :