Jakarta -Tak lekang oleh waktu. Begitulah konsistensi yang terus ditunjukkan oleh aktivis sekaligus politisi perempuan PDI Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka. Kini, Rieke resmi mendirikan posko tolak kenaikan harga BBM di depan Gedung DPR, Kamis (22/3/2012) kemarin bersama dengan para aktivis buruh lainnya.
"Sekarang saja rakyat sudah tekor 5 persen. SBY untung, rakyat buntung. APBNP tidak disetujui, BBM tidak akan naik. DPR adalah pemegang palu keputusan menolak kenaikan BBM. Palu DPR milik rakyat, bukan punya SBY," tegas Rieke mengingatkan.
Dikatakan, berdasarkan UU APBN 2012 pasal 7 pemerintah tidak bisa menaikkan harga BBM kalau tidak mendapatkan persetujuan DPR. Artinya, selama DPR tidak setuju, maka BBM tidak akan bisa naik. Namun, terkadang orang lupa, bahwa DPR tidak berdiri sendiri. Fraksi di DPR adalah perpanjangan tangan partai. Anggota dewan, katanya lagi, termasuk dalam mengambil keputusan.
"Apalagi jika ketua dewan pembinanya merangkap presiden. Apalagi jika pimpinan-pimpinan partai ada pada posisi menteri yang notabene adalah pembantu presiden. Maka, tidaklah heran jika dalam hitungan sembilan hari ke depan rencana kenaikan BBM sudah di depan mata, keputusan DPR menolak atau menerima keinginan SBY seakan masih samar-samar belaka," tegasnya.
"Ada hitung-hitungan untung rugi politik. Namun, saya sangat berharap, saya yakin mayoritas anggota DPR adalah wakil rakyat yang sesungguhnya. Mayoritas kawan-kawan saya di DPR bekerja untuk rakyat. Dan saya kira, bukan hanya rakyat yang memilih saya saja yang sekarang ini sedang menjerit karena kenaikan harga kebutuhan pokok akibat drama BBM ini," Rieke menandaskan.
Dirinya kemudian meyakini, para wakil rakyat di DPR masih memiliki nurani dan integritas moral yang tinggi terhadap rakyat. Meskipun ada pada posisi koalisi dengan pemerintah, para wakil rakyat tidak akan mau berkoalisi untuk menindas dan menyengsarakan rakyat. Rieke mengingatkan kembali, sekarang ini DPR sedang membahas APBN-P yang dipercepat dari agenda pembahasan pada umunya, yang biasanya jatu pada pertengahan tahun.
"Saatnya, bukan presiden yang paksakan keinginannya ke rakyat. Saatnya, bukan DPR yang bernego dengan eksekutif memutuskan nasib rakyat. Saatnya rakyat diktekan kepada pemerintah, apa yang rakyat mau dan butuhkan. Hanya kekuatan rakyat bisa membuat suara wakil rakyat bergema mewakili rakyat. Hanya gelombang rakyat yang bisa menyeret palu keputusan menyetujui kehendak rakyat, bukan kehendak SBY," tegasnya lagi. (Tribunnews)