Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) VII PDI Perjuangan Daryatmo Mardiyanto menyatakan, kebijakan itu dengan mudah ditebak bahwa pemerintah sedang berusaha menutupi keterpurukan citranya melalui program kompensasi kenaikan harga BBM.
"Ini pencitraan saja, seakan-akan Pemerintah telah berbuat baik kepada masyarakat," ujar Daryatmo di Gedung DPR, Senayan, Kamis (1/3/2012).
Menurutnya, fakta sebenarnya adalah pemerintah sedang 'memaksa' masyarakat secara keseluruhan untuk menyumbang lebih pendapatannya kepada negara melalui kenaikan harga BBM. Sebab beban yang sebenarnya harus ditanggung negara dalam postur APBN ditanggung oleh berkurangnya subsidi tersebut.
Seandainya Pemerintah memang berniat melindungi masyarakat sesuai dengan UUD 1945, lanjutnya, maka seharusnya yang dipertahankan adalah subsidi BBM dan harga BBM murah.
"Fungsi subsidi aslinya adalah untuk menunjukkan peran negara. Maksudnya, instrumen yang sebenarnya bagi negara untuk melindungi rakyat ada dalam bentuk subsidi itu, bukan kompensasi atas kenaikan BBM," paparnya.
Daryatmo menjelaskan, tak benar jika subsidi sebagai faktor yang menjadi beban bagi APBN. Pasalnya beban subsidi BBM di APBN hanya sekitar 8 persen dari total anggaran, yang nilainya hampir setara dengan pembayaran utang luar negeri.
Sebaliknya, tambah Daryatmo, yang paling besar menjebol anggaran negara justru belanja birokrasi untuk gaji pegawai dan operasional aparat pemerintah yang besarnya mencapai hingga 51,4 persen dari total anggaran.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa tak benar bila pemerintah menyatakan subsidi BBM tak pernah dinikmati masyarakat kelas menengah bawah. Terbukti, survei Bank Dunia menunjukkan secara jelas bahwa BBM bersubsidi dikonsumsi oleh 64 persen pemilik sepeda motor, sementara 36 persen oleh pemilik mobil.
Pemilik mobil mayoritas, berdasarkan survei adalah kalangan kelas menengah yang membeli mobil dengan cara kredit. "Jadi subsidi BBM tepat sasaran karena memang dinikmati masyarakat menengah ke bawah," tandasnya. [inilah]