"Artinya cadangan minyak Indonesia 8 kali lebih cepat habis dari dua negara tersebut," kata kata Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas, Gde Pradnyana.
Sayangnya, meski Indonesia memiliki laju pengurasan minyak yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara penghasil minyak dunia, ternyata pengurasan ini lebih banyak dilakukan perusahaan-perusahaan asing. Sementara itu, PT Pertamina (Persero), perusahaan BUMN minyak dan gas terbesar, belum bisa menjadi motor produksi minyak nasional.
Kepala BP Migas, Raden Priyono, mengatakan, Pertamina melalui anak usahanya PT Pertamina EP, memiliki wilayah kerja terluas, yaitu 138 ribu kilometer persegi atau 48 persen dari seluruh perusahaan migas yang beroperasi di Indonesia. "Namun, produksi per kilometer persegi Pertamina baru sekitar 0,89 barel per hari," kata dia dalam laporan BP Migas kepada wartawan.
Jika dibandingkan dengan PT Chevron Pacific Indonesia, yang hanya memiliki wilayah kerja 8.700 kilometer persegi, tingkat produksi Chevron telah mencapai 41,30 barel per hari per kilometer persegi. Perusahaan minyak asal Amerika Serikat ini masih menjadi produsen minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia dengan kapasitas 356 ribu barel per hari.
Sementara itu, Total EP Indonesie hanya memiliki luas wilayah 3.121 kilometer persegi, namun produksi per luas wilayah perusahaan asal Prancis ini mencapai 28,64 barel per hari per kilometer persegi. Total EP memproduksi migas 82.232 barel per hari, atau 9.768 barel lebih rendah dari target sebesar 92 ribu barel.
Untuk itu, Priyono meminta Pertamina EP menggenjot produksinya dengan cara meningkatkan laju pengurasan minyak. Laju pengurasan minyak Pertamina EP pada 2010 baru mencapai 4,46 persen, masih kalah dibandingkan Chevron 8,8 persen, ConocoPhillips (Amerika) yang sebesar 55,1 persen, dan CNOOC (China) 21,4 persen.
"Berdasarkan evaluasi, data laju pengurasan minyak Pertamina EP di bawah rata rata nasional, yaitu 8,8 persen," katanya.
BP Migas juga meminta Pertamina EP untuk menggunakan potensi meningkatkan produksi dari struktur yang belum dikembangkan atau masih idle yang mencapai 165 lapangan. Pertamina EP juga dapat meningkatkan produksi dari potensi peningkatan dari sumur-sumur suspended. "Berdasarkan data awal Pertamina EP, 5.244 sumur suspended diharapkan dapat dilakukan reaktivasi," katanya.
Mengapa tingkat produksi Pertamina lebih kecil dibandingkan perusahaan-perusahaan minyak asing?
Juru bicara Pertamina EP Agus Amperianto mengatakan, laju pengurasan minyak milik lapangan Pertamina sudah tak bisa lagi dipacu. Sebab, hampir 80 persen dari total lahan merupakan lapangan tua. "Ini menyebabkan produksi tak maksimal, tapi kami terus mengusahakan," kata dia melalui sambungan telepon, Senin. "Selain itu, kadar air sumur tua juga sangat tinggi, sehingga perusahaan harus mengeluarkan tenaga ekstra dalam memproduksi minyak."
Tak cuma kendala teknis yang menghambat produksi, kendala nonteknis pun bisa berpengaruh. "Seperti tumpang tindih lahan, susahnya izin kepala daerah, dan lain-lain," katanya.
Produksi turun
Penemuan cadangan minyak yang berukuran cukup besar di Indonesia umumnya terjadi di Indonesia barat. Misalnya Lapangan Minas, Duri, dan terakhir Cepu. Pengurasan cadangan Minas sudah dilakukan sejak tahun 1950-an dan mencapai puncaknya pada 1975 - 1976 dengan tingkat produksi di kisaran 250 ribu barel per hari dan menjadi penyumbang terbesar terhadap produksi nasional 1,5 juta barel per hari.
Sejak saat itu produksi Minas terus menurun dan kini hanya menghasilkan sekitar 70 ribu barel per hari. Penurunan dari Minas ini masih ditutupi dari pengurasan cadangan Duri yang dimulai sekitar tahun 1980-an dengan tingkat produksi 400 ribu barel per hari dan membuat produksi nasional kembali mencapai puncaknya di tahun1995- 1996 dengan produksi sebesar 1,6 juta barel per hari.
Selanjutnya lapangan Duri-pun terus menurun produksinya seiring dengan menipisnya jumlah cadangan yang tersisa. Kini kedua lapangan Minas dan Duri hanya menghasilkan sekitar 360 ribu barel per hari.
Penemuan lapangan minyak lainnya ukurannya jauh lebih kecil. Sebaliknya eksplorasi yang belakangan ini gencar dilakukan di Indonesia timur menghasilkan penemuan cadangan-cadangan gas dalam jumlah besar, bukan minyak. Misalnya Tangguh, area deepwater Selat Makassar (Gandang, Gendalo, Gehem, dan lain-lain), Masela (Laut Timor), dan terakhir oleh Genting Oil di Bintuni.
Dari dua kenyataan itu, maka cadangan terbukti minyak nasional Indonesia terus menyusut dalam 10 tahun ini dari 4,3 miliar barel menjadi 3,9 miliar barel. Sementara cadangan gas kita masih tetap tinggi, lebih dari 104 triliun kaki kubik.
"Industri hulu migas adalah industri pencarian (eksplorasi) dan pengurasan (eksploitasi) cadangan migas. Alam tidak bisa dipaksa untuk menghasilkan minyak ataupun gas, tetapi kita hanya bisa mencari dimana cadangan-cadangan tersebut berada dan kemudian mengurasnya dengan berbagai cara," ujar Gde.
Sumber: VIVAnews