"Ini substansi masalahnya. Pemerintah Indonesia tidak boleh puas lalu berhenti hanya dengan adanya permintaan maaf ini. Termasuk Pemerintah Malaysia harus menjelaskan apa alasan jasad korban penuh jahitan. Apakah ini bagian dari upaya menghilangkan barang bukti timah panas yang masuk ke tubuh korban," tutur Mahfudz, Sabtu (28/4/2012) di Jakarta.
"Saya dalam posisi sebagai Ketua Komisi I DPR, mengajak pemerintah, masyarakat, dan media massa untuk berhenti menyebut ketiga korban dengan sebutan TKI. Tapi harus kita sebut WNI (warga negara Indonesia)," tambah Mahfudz.
Menurut Mahfudz, yang dibunuh oleh aparat Kepolisian Diraja Malaysia adalah tiga WNI. Indonesia sebagai negara sudah diperlakukan sewenang-wenang oleh Malaysia. "Dan atas nama konstitusi, negara Indonesia berkewajiban melindungi warga negaranya degan segala cara," tandas Mahfudz.
Hasil Otopsi Tetap Akan Dipersoalkan
Hasil otopsi yang disampaikan pihak kepolisian tentang tidak adanya organ tubuh yang hilang pada ketiga jenazah tenaga kerja Indonesia yang tewas di Malaysia ternyata belum dapat menyelesaikan masalah. Hasil otopsi itu diragukan dan akan dipersoalkan.
Mestinya, dalam proses otopsi dijelaskan oleh tim kepada keluarga, ini dua mata masih utuh, ini otak, ini jantung. Mestinya itu dijelaskan secara gamblang. Kenyataannya, keluarga bilang tidak ada proses itu.
-- Anis Hidayah
"Kalau pemerintah merasa sudah selesai, tapi bagi Migrant Care, kita akan terus mendampingi keluarga untuk membuat laporan pembanding dari hasil pandangan mata selama mengikuti proses otopsi," kata Direktur Migrant Care, Anis Hidayah, di Jakarta, Sabtu (28/4/2012).
Anis dimintai tanggapan hasil otopsi jenazah Abdul Kadir Jaelani, Herman, dan Mad Noor yang disampaikan pihak kepolisian. Ketiga TKI asal Nusa Tenggara Barat itu tewas ditembak aparat Kepolisian Diraja Malaysia setelah dicurigai akan merampok.
"Seluruh organ vital tubuh (mereka) seperti mata, otak, jantung, hati, ginjal, dan lainnya dalam keadaan lengkap. Semua bekas jahitan di tubuh ketiga jenazah adalah bekas irisan pisau bedah untuk keperluan otopsi oleh dokter ahli forensik," kata Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Brigjen (Pol) Musaddeq Ishaq.
Anis mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan tim yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menindaklanjuti pengakuan keluarga. Sebagian keluarga korban, kata dia, masih meyakini adanya organ tubuh yang hilang.
"Untuk memastikan organ tubuh ada atau tidak, bukan berdasar hasil otopsi, tapi hasil pembedahan. Apakah hanya untuk memastikan bola mata ada atau tidak harus paham ilmu kedokteran? Kan tidak," kata Anis.
"Mestinya, dalam proses otopsi dijelaskan oleh tim kepada keluarga, ini dua mata masih utuh, ini otak, ini jantung. Mestinya itu dijelaskan secara gamblang. Kenyataannya, keluarga bilang tidak ada proses itu. Mereka hanya melihat ada pembedahan dan mereka punya kesimpulan sendiri. Kesimpulan itu tidak boleh disalahkan," lanjut Anis.
Anis menambahkan, pihaknya mencurigai otopsi yang baru digelar pada Kamis (26/4/2012). Padahal, kata dia, otopsi sudah bisa dilakukan sejak Senin sebelumnya. Kecurigaan lainnya adalah adanya jahitan di mata dan di perut bagian bawah dengan sayatan horizontal. Menurut dia, jahitan itu tak lazim dalam kematian TKI yang selama ini didampingi Migrant Care.
"Ada jahitan di kaki dan tangan. Apakah penembakan perlu kaki dan tangan dijahit seperti itu sehingga menimbulkan pertanyaan lain dari pihak keluarga. Ini ada kepentingan politik yang mesti dijaga dari kedua negara. Kita dari awal sudah mengindikasikan hasil otopsi akan demikian," pungkas Anis. (kompas)