Rumah petak di Jalan Petamburan III Nomor 27, Slipi, Jakarta Barat, Sabtu sore itu memang penuh sesak. Bukan cuma karena boneka Unyil cs ataupun tumpukan buku dan koran, tapi juga karena wartawan dan anak-anak berdesakan. Pak Raden sedianya akan 'ngamen' untuk mendapat sokongan memperoleh hak cipta atas Unyil. Yang terjadi malah konferensi pers berkepanjangan hingga petang.
Mereka yang hadir mendengar keluh kesah Pak Raden soal royalti, atas tokoh Unyil ciptaannya, tak kunjung sampai. Karakter Si Unyil sangat tenar. Tayangan Laptop Si Unyil yang diputar di Trans 7 terbilang "kaya", selalu banjir iklan. Itu ironi dengan kehidupan Pak Raden sebagai penciptanya yang merana.
Rumah yang dia huni sekarang adalah milik kakaknya. Di sana Pak Raden hidup sendiri, tanpa istri dan anak. Hanya Madun, pria 47 tahun yang mengurus kebutuhan Pak Raden sehari-hari, seperti memasak dan mencuci. Usia sepuh begini, pria bernama asli Suyadi ini harus membawa kursi roda untuk bepergian. Biasanya, ke mana-mana ia diantar Nana Ruslana, sang asisten.
Pak Raden hanya menahan sakit encoknya untuk berdiri ketika mendongeng atau melukis di depan anak-anak. "Cuma tahan berdiri kalau manggung dongeng atau melukis," ujar Nana ketika ditemui di kediaman Pak Raden.
Kata dokter, kaki kiri pria 79 tahun tersebut sudah tak punya 'pelumas'. Maka ketika tungkai paha dan dengkulnya bertemu, akan terasa sakit. Maka tongkat yang selalu dibawanya bukan properti, tapi memang penyangga.
Dalam surjan merah marun dan blangkon, Pak Raden bercerita, royalti Unyil hanya ia nikmati ketika program itu masih diproduksi. "Setelah itu tidak dapat apa-apa," kata dia di hadapan kamera pewarta.
Selama ini ia juga tidak berupaya meminta royalti. "Tidak. Saya belum pernah mengajukan. Kepada siapa?" ucapnya. Ia merasa bukan pegawai Perum Produksi Film Negara, produsen program Unyil tahun 1979.
Pada Desember 1995, Pak Raden memang pernah menandatangani perjanjian dengan PFN. Isinya, menyerahkan kepada PFN untuk mengurus hak cipta atas boneka Unyil. "Untuk menggampangkan menertibkan iklan-iklan yang menggunakan tokoh-tokoh Unyil," ia mengenang. Namun, perjanjian itu hanya berlaku selama lima tahun sejak ditandatangani. Artinya, setelah lima tahun, publikasi Unyil bukan milik PFN lagi.
Tetapi, menurut Pak Raden, beberapa hari setelah tanda tangan surat pertama, perjanjian serupa muncul dengan tanggal yang sama, 14 Desember 1995. Bedanya, perjanjian baru itu tidak mencantumkan batas masa berlaku.
Pada 23 Desember 1998, Pak Raden menandatangani surat penyerahan hak cipta atas 11 lukisan boneka termasuk Si Unyil, Pak Raden, Pak Ogah dan lain-lain. Pada 15 Januari 1999, PFN mendapat surat penerimaan permohonan pendaftaran hak cipta dari Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek Departemen Kehakiman atas 11 tokoh itu. Walau begitu, Pak Raden tidak dapat royalti.
Akmal Nasery Basral, novelis yang hadir untuk mendukung Pak Raden, mengatakan seharusnya hak cipta itu masih berlaku bahkan hingga 50 tahun setelah si empunya karya wafat. "Itu ada dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta," katanya. Menurut Akmal, seharusnya hal ini diakomodasi Kementerian Ekonomi Kreatif.
Sementara itu, Pak Raden menyambung hidup dengan menjadi pendongeng dan pelukis sepanjang vakumnya dari program televisi Unyil. Ini masih dilakoninya hingga tengah tahun lalu. Menurut panitia Pak Raden Ngamen untuk Hak Cipta, Chusnato, pria berkumis itu mendongeng dari sekolah ke sekolah, festival ke festival. Sekali dongeng, ia dibayar Rp. 3,5 juta sampai Rp. 5 juta. Dalam sebulan, intensitas naik panggung bervariasi. "Bisa sebulan 3 kali," kata Chus.
Sekarang, Pak Raden lebih fokus membuat lukisan menyambut Hari Anak Nasional, Juli mendatang. Ia masih produktif. Materi memang bukan satu-satunya yang diresahkan Pak Raden, tapi penghargaan atas karyanya. "Usia saya seperti matahari terbenam. Alangkah senangnya sebelum terbenam itu ada hadiah hak cipta," katanya dengan mata berkaca-kaca. (tempo.co)