"Dari pendataan kebudayaan masyarakat yang kita lakukan, salah satu yang cukup mengejutkan ada sesepuh desa yang mengaku menyimpan sebentuk naskah piagam kuno warisan nenek moyangnya yang berasal dari Kerajaan Mataram," katanya.
Ahli waris penyimpan naskah kuno tersebut adalah H Pudin, yang mengaku tangan keempat yang mewarisi memegang dan menyimpan naskah tersebut. Ia mengatakan naskah itu ditulis di atas daun lontar sebanyak tiga rangkaian yang kondisinya kini sudah sangat usang.
Namun Pudin mengaku tidak mengerti jenis aksara yang dipakai pada piagam itu, dan tidak pernah mau tahu tentang isi naskah itu. "Pudin hanya mengatakan, saat diwariskan ayahnya pada dirinya, ayahnya hanya menyampaikan pesan naskah yang kini hanya disimpan itu adalah piagam yang isinya menceritakan kalau keluarganya keturunan Kerajaan Mataram di Jawa yang melakukan perjalanan ke swarnadwipa (Sumatera)," ujar Ujang.
Karena tidak bisa membaca aksara yang diduga menggunakan aksara Pallawa ataupun aksara Jawa kuno itu, selanjutnya selama ratusan tahun helai-helai naskah dari daun yang sudah usang dan rentan rusak itu hanya disimpan warga di rumah adat dan dianggap sebagai pusaka yang harus dijaga oleh keturunan warga Desa Air Batu.
Bahkan, karena lamanya naskah itu disimpan dan tidak pernah dibuka, kini warga pun sudah tidak ingat lagi rangkaian ritual yang harus dilakukan saat prosesi upacara penurunan pusaka itu dilakukan.
Pudin selaku sesepuh desa dan ahli waris hanya mengingat kalau setiap kali naskah piagam itu akan dibuka harus diawali dengan prosesi pemotongan hewan kurban berupa kerbau atau sapi atau minimal kambing.
Ujang mengatakan, Pudin juga menyatakan bahwa lokasi Desa Air Batu sejak awal didiami oleh nenek moyangnya ratusan tahun lalu, minimal sudah mengalami tiga kali pindah lokasi dari tempat awalnya yang berada di seberang sungai dan kini hanya tersisa puing batu pondasi bangunan di tengah semak hutan dan ladang masyarakat.
Lokasi yang sekarang adalah lokasi terakhir didiami sebagaimana yang diwangsitkan melalui mimpi oleh leluhur mereka. Menurut Ujang, bahkan tim peneliti yang ingin mengecek keberadaan naskah piagam kuno itu tidak mendapatkan izin sebelum melakukan prosesi pemotongan hewan kurban dan juga warga sudah tidak tahu rangkaian proses yang harus dilakukan untuk membuka naskah itu.
"Kita harus menunggu sampai tokoh adat dan tetua desa berembuk dan memutuskan langkah berikutnya, Kita harus menghormati ketentuan warga desa," katanya.
Sangat penting untuk melihat kondisi nasakh itu apakah masih utuh atau sudah remuk rusak, pihaknya masih menunggu hingga warga siap. (ant)