”Kebijakan tersebut juga paradoks dengan semangat memerangi peredaran narkotik,” kata anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Indra S.H., di kompleks DPR, Senayan, kemarin.
Dalam peringatan Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba di Istana Negara, 29 Juni 2005, Presiden juga pernah menyatakan grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik tidak akan pernah dikabulkan, termasuk bagi Corby. “Ini menunjukkan kita tidak pernah memberi toleransi kepada jenis kejahatan ini,” ujar Yudhoyono waktu itu.
Presiden mengabulkan grasi untuk Corby dengan mengurangi hukumannya selama lima tahun. Dengan grasi ini, vonis warga negara Australia yang ditangkap karena membawa 4 kilogram ganja di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004 itu menjadi 15 tahun penjara. Indra mengatakan pemerintah seharusnya konsisten memerangi narkotik. Karena itu, dia meminta Presiden membatalkan remisi tersebut. ”Indonesia adalah negara besar dan merdeka. Jangan mau didikte Australia,” kata Indra.
M. Nurdin, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, khawatir grasi Corby berdampak buruk bagi terpidana narkotik lainnya. Karena itu, komisinya akan meminta penjelasan kepada Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. ”Kalau pemerintah tidak bisa menjelaskan, ini menunjukkan indikasi adanya tebang pilih,” katanya.
Menanggapi keberatan itu, Menteri Amir menegaskan bahwa grasi untuk Corby tidak mempengaruhi kedaulatan hukum Indonesia. ”Ini pengurangan hukuman, bukan grasi untuk membebaskan,” katanya. Ia berharap pemerintah Australia bisa membalas grasi tersebut dengan pengurangan hukuman bagi anak-anak Indonesia yang ditahan di Australia.
Juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan pemberian grasi itu juga sesuai dengan aturan hukum, yaitu Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. “Presiden memiliki hak untuk memberikan grasi dengan meminta pertimbangan Mahkamah Agung,” ujar Julian.
Grasi Corby, Australia Diminta Bersikap Adil
Kejaksaan Agung menyesalkan sikap pemerintah Australia yang tidak beriktikad baik dalam ekstradisi Adrian Kiki, tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Wakil Jaksa Agung Darmono berharap, dengan dikabulkannya permohonan grasi untuk Schapelle Leigh Corby, pemerintah Australia bisa bersikap adil. ”Australia tak kunjung mengabulkan ekstradisi Adrian Kiki,” kata Darmono di kantornya, Rabu 23 Mei 2012.
Darmono mengatakan, dengan alasan perbedaan sistem hukum, pemerintah Australia seakan mempersulit pemulangan Adrian Kiki, yang tinggal di Australia. Bahkan, menurut Darmono, pihak Australia pernah menyatakan bahwa tak mungkin mengupayakan barter keringanan hukum antara Corby dan Adrian. Alasannya, sistem hukum tidak mengatur hal itu.
Kejaksaan kini hanya bisa berharap Australia tak mempersulit proses permohonan ekstradisi yang diajukan Indonesia. Darmono juga berharap besar pemerintah Australia membantu upaya hukum pemerintah Indonesia. ”Itu saja,” katanya.
Corby, warga negara Australia yang ditangkap karena membawa 4 kilogram ganja di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004, itu mendapat grasi berupa pengurangan sebesar lima tahun penjara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam surat keputusan nomor 22/G/2012 pada 15 Mei lalu mengabulkan permohonan grasi, sehingga hukumannya menjadi 15 tahun penjara.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan, dengan dikabulkannya grasi, diharapkan pemerintah Australia bisa membalasnya dengan mengurangi hukuman anak-anak Indonesia yang ditahan di sana. ”Diharapkan ada perlakuan yang berbalas terhadap warga negara kita, khususnya anak-anak,” ujar dia di Istana. ”Sikap Indonesia memberi grasi mudah-mudahan bisa berbalas positif.”
Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menilai pemberian grasi untuk Corby adalah hak prerogatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hatta mengakui Mahkamah Agung serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberi pertimbangan kepada Presiden sebelum memberikan grasi untuk seorang terpidana. Namun pertimbangan Mahkamah dan Menkumham sifatnya tidak mengikat. ”Pertimbangan tersebut hanya berupa pendapat,” ujar dia. Namun Erwin Siregar, pengacara Corby, membantah anggapan bahwa grasi untuk kliennya terkait dengan perjanjian tukar guling antara Indonesia dan Australia. ”Sepengetahuan saya, tidak ada. Itu hanya rumor,” kata Erwin saat dihubungi kemarin.
Meski begitu, Erwin mengatakan, jika grasi terhadap Corby diberikan karena perjanjian dengan Australia, itu adalah hal yang wajar. Soalnya, Indonesia juga pernah meminta pemerintah Malaysia mengurangi hukuman bagi tenaga kerja Indonesia yang diadili di Malaysia. ”Ini tindakan peduli dari pemerintah pada warga negaranya yang ditahan di negara lain,” katanya.
(tempo.co)