Darmono mengatakan pihaknya berusaha meningkatkan kerja sama dengan negara lain untuk menangkap seluruh buronan. Pokok permasalahan saat ini, katanya, adalah belum adanya kepastian negara lokasi para buronan tersebut. Jika keberadaan para buronan itu sudah dipastikan, dokumen keimigrasian mereka dapat diteliti.
Hari ini terpidana kasus korupsi KLBI, Sherny Kojongian, tiba di Indonesia setelah tertangkap di San Fransisco, Amerika Serikat. Darmono mengatakan Sherny kabur dari Indonesia pada 21 Oktober 1998. Pada 21 Oktober 2003, Sherny mendapatkan green card dan setahun kemudian memperoleh status permanent resident. Pada 2009, Sherny mengajukan naturalisasi untuk bisa menjadi warga negara AS.
Namun, kata Darmono, karena pemerintah Indonesia memberikan informasi melalui Interpol bahwa Sherny masuk dalam daftar red notice, otoritas AS meminta klarifikasi dari Indonesia. Tim terpadu pemulangan Sherny kemudian menyertakan data terkait putusan pengadilan, berita acara pemeriksaan, serta surat perintah penangkapan atas Sherny. Karena ada indikasi Sherny terlibat tindak pidana, proses permintaannya untuk menjadi warga negara AS ditunda. Berdasarkan pengusutan pemerintah AS, Sherny dinyatakan melanggar hukum keimigrasian setempat.
Sherny merupakan perempuan kelahiran Manado, 8 Februari 1963. Ia terlibat masalah kala menjabat Direktur Kredit Bank Harapan Santosa. Eko Edi Putranto merupakan suaminya dan Hendra Raharja adalah mertuanya.
Ia turut terlibat dalam penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Seharunya dana itu dipakai untuk membayar deposan, namun Sherny bersama Eko dan Hendra justru menyetujui kredit senilai Rp 2,6 triliun kepada enam perusahaan di bawah grup PT Bank Harapan Santosa. Keenam perusahaan itu adalah PT Prasetia Pertiwi, PT Setia Harto Jaya Building, PT Gaya Wahahan Abadi Sakti, PT Eka Sapta Dirgantara, PT Inti Bangun Adhi Pratama dan Bintang Sarana Sukses.
Kredit grup BHS pertama cair pada 1992 sebesar Rp 844 miliar. Setahun kemudian kredit cair lagi sebesar Rp 45 miliar. Pada tahun 1996, kredit dikucurkan sebanyak Rp 1,8 triliun. Dana tersebut dipakai antara lain untuk membeli puluhan bidang tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera.
Pada 16 November 2010, Sherny ditahan pihak Imigrasi AS dan menjalani persidangan. Pada 1 Agustus 2011 diputuskan Sherny harus dideportasi ke Indonesia. Sherny pun mengajukan banding tanggal 6 Mei 2012. Pengadilan memutuskan menolak banding tersebut.
Pemerintah AS melalui Interpol kemudian meminta agar Sherny segera dideportasi. "Prinsipnya dibawa ke negara asal wilayah hukum yang bersangkutan," kata Darmono. Sherny dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang dari Kejaksaan Agung sekitar pukul 10.30 WIB, Rabu, 13 Juni 2012.
Begini Sherny Kojongian Terlibat Kasus BLBI
Sherny Kojongian tiba di Tanah Air dan langsung dikirim ke Lembaga Pemasyarakat Wanita Tangerang setelah dibawa ke Kejaksaan Agung. Sherny harus mempertanggungjawabkan kerugian negara sekitar Rp 1,1 triliun dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
"Untuk hukuman lebih dari tujuh tahun, akan dikirim ke luar selain Pondok Bambu, akan dikirim ke Tangerang," kata Wakil Jaksa Agung Darmono di kantornya, Rabu, 13 Juni 2012.
Siapa Sherny dan apa perannya dalam kasus BLBI?
Sherny merupakan perempuan kelahiran Manado, 8 Februari 1963. Ia terlibat masalah kala menjabat Direktur Kredit Bank Harapan Santosa. Eko Edi Putranto merupakan suaminya dan Hendra Raharja adalah mertuanya.
Ia turut terlibat dalam penggelapan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Seharunya dana itu dipakai untuk membayar deposan. Namun Sherny bersama kedua orang keluarganya itu justru menyetujui kredit senilai Rp 2,6 triliun kepada enam perusahaan di bawah grup PT Bank Harapan Santosa. Keenam perusahaan itu adalah PT Prasetia Pertiwi, PT Setia Harto Jaya Building, PT Gaya Wahahan Abadi Sakti, PT Eka Sapta Dirgantara, PT Inti Bangun Adhi Pratama dan Bintang Sarana Sukses.
Kredit grup BHS pertama cair pada 1992 sebesar Rp 844 miliar. Setahun kemudian kredit cair lagi sebesar Rp 45 miliar. Pada tahun 1996, kredit dikucurkan sebanyak Rp 1,8 triliun. Dana tersebut dipakai antara lain untuk membeli puluhan bidang tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera.
sumber: tempo.co