"Desain ini mampu menjamin suatu kompetisi dimana seorang kepala daerah tidak bisa memobilisasi jajaran pemerintah daerah untuk kepentingan dukungan bagi calon yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan yang bersangkutan. Demikian pula halnya, desain ini mampu menciptakan suatu postur birokrasi yang netral sebagai akibat tidak adanya tekanan dari penguasa petahana (incumbent)," terang Mendagri Gamawan Fauzi, seperti disampaikan dalam siaran pers Puspen Kemendagri, Sabtu (9/6/2012).
Gamawan melanjutkan, pelaksanaan demokrasi secara universal identik dengan konsep persamaan derajat di dalam kompetisi politik yang bebas kecurangan (fairness) dan sesuai dengan aturan peraturan perundangan (rule of the law), namun demikian demokrasi yang tanpa proteksi atau tanpa diskriminasi positif atau biasa diistilahkan sebagai afirmasi kebijakan (affirmative action).
"Maka demokrasi yang demikian itu hanya akan terjebak dalam lingkaran liberalistis yang melanggengkan suatu kekuasaan yang memiliki kuasa atas sumber kekuatan politik maupun finansial. Sementara kekuasaan yang langgeng cenderung koruptif, kolutif dan nepotis negatif, sehingga tujuan demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan dalam kompetisi menjadi tinggal slogan simbolik semata," jelasnya.
RUU Pemilihan Kepala Daerah merupakan derivasi dari UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dan kompetisi pemilihan kepala daerah yang dinamis dengan tetap mengaktualisasikan nilai-nilai kesetaraan, menjadi hal yang penting.
"Di mana perlu adanya pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah petahana," tutur Gamawan.
Dinasti Politik di Daerah Harus Dicegah
Dinasti politik di daerah harus dicegah. Karena itu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang membatasi keluarga incumbent untuk maju di Pilkada diapresiasi positif.
"Karenanya harus ada batasan yang jelas, misal keluarga, dua ke atas, dua ke bawah, anak, ponakan, tidak boleh maju satu periode ke depan setelah saudaranya maju. Mesti ada jeda satu periode dahulu," jelas peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi saat berbincang, Sabtu (9/6/2012).
Dalam RUU Pilkada yang akan diajukan itu, diatur soal pembatasan itu. Langkah positif ini perlu diapresiasi. Apung juga menilai, aturan itu tidak melanggar HAM.
"Hal ini sama sekali tidak melanggar HAM. Di mana tetap mencalonkan, tetapi setelah jeda 1 periode," tutur Apung.
Tujuan dari pengaturan ini guna mencegah dinasti politik dan meminimalisir korupsi dan nepotisme yang rawan terjadi di daerah. Ada kepentingan yang lebih besar.
"Aturan itu untuk mencegah oligarki politik. Dan perlu dipertegas, bukan melarang mencalonkan diri, hanya membatasi 1 periode. Dan aturan ini juga menunjukkan bahawa ada kesetaraan dalam demokrasi. Artinya, semua golongan bisa sama-sama berpeluang memimpin daerah. Kalau pemimpinnya itu-itu saja, dari keluarga itu-itu saja, bagaimana daerah mau maju? DPR seharusnya mendukung hal ini," terangnya. (detikNews)