Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Jakarta - Persoalan urbanisasi yang mendera Jakarta tiap tahunnya, kerap tidak terpecahkan. Ini karena faktor ekonomi kota dianggap lebih menggairahkan dibanding daerah yang mengandalkan sektor pertanian.

Pengamat ekonomi Lana Soelistianingsih mengatakan, ada gap antara sektor pertanian dan industri dalam negeri, sehingga pemerintah tidak jelas, fokus pembangunan mana yang ingin diambil dan digenjot.
Minggu, 26 Agustus 2012

Pemerintah tidak Fokus, Urbanisasi Merajalela
urbanisasi (ilustrasi)

"Bingung juga, semuanya ingin diambil, pemerintah tidak ada fokus yang jelas, akibatnya sektor pertanian yang seharusnya dikembangkan tetap saja lemah," kata Lana, Sabtu (25/8/2012).

Lana mengatakan, seandainya pemerintah benar-benar berpihak pada kesejahteraan petani dan pengembangan pertanian, arus urbanisasi itu bisa ditekan sedemikian rupa karena penghidupan sebagai petani menjanjikan.

"Namun, secara ekonomi pendapatan petani itu rendah, karena kebijakan ekonomi kita tidak berpihak pada petani, Kemudian risiko berkerja di sektor pertanian itu tinggi, maka kalau pemerintah ingin pembangunan merata, maka memenuhi kesejahteraan petani itu salah satunya," ujar Lana.

Ia mencontohkan di Amerika Serikat, dimana subsidi sektor pertanian itu bukan saja mengenai kebutuhan pertaniannya saja, seperti pupuk dan lainnya. Namun juga subsidi untuk petani.

"DI AS yang disubsidi itu petani, mereka (petani) mendapat harga yang layak untuk hidup dengan standarisasi yang berlaku, sebab di kita (Indonesia) biaya untuk menghasilkan beras itu tidak sebanding dengan apa yang mereka terima," jelasnya.

Kemudian di sektor industri, pemerintah tetap memaksimalkan mitra kerja yang baik dengan swasta sebagai pengembang industri. Menurut Lana, Ini penting dilakukan agar pemerintah memiliki energi yang jelas dalam melakukan pertumbuhan ekonomi yang merata, walaupun sektor industri tetap dalam pengawasan pemerintah.

"Jadi pemerintah bisa fokus pada apa yang ingin dikembangkan, apalagi belakangan sering disebut-sebut oleh presiden ingin meningkatkan ketahanan pangan, maka di sinilah peluangnya bisa fokus pada pertanian, berpihak pada petani," ujarnya.

Industri juga menurut Lana bisa diperluas pada daerah lain, agar tidak terlalu terpusat di Jakarta. Ia pun menilai, pemerintah harus punya kekuasaan untuk mengomandani swasta, agar pembangunan industri merata.

“Misalnya industri tekstil dialihsentrakan ke Jawa Timur. Selain bisa menyerap SDM, juga memperkecil arus urbanisasi," katanya.


Dalam 5 Tahun, Masyarakat Terus Cari Kerja Ke Kota

Pemerataan sentra perekonomian ke daerah untuk menekan arus urbanisasi yang tidak terkendali, dinilai bisa terealisasi dalam jangka waktu panjang hingga 5 tahun.

Hal tersebut jikalau pemerintah hanya mengandalkan rancangan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tanpa ada terobosan lain.

"Pemberlakuan sentra perekonomian di daerah agar tidak terpusat ke kota bisa dilakukan melalui MP3EI tapi itu jangka panjang, butuh waktu 5 tahun lebih," kata Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro di Jakarta, Jumat (24/8/2012).

Kalau itu yang terjadi kemungkinan penduduk yang sudah beralih ke pusat kota akan menumpuk, dan dalam beberapa tahun ke depan hal yang sama akan tetap terjadi. "Mau tidak mau lebaran tahun depan ya begitu lagi (banyak yang mencari penghidupan ke kota)," katanya.

Selain itu, lagi-lagi Andry mengingatkan alokasi anggaran ke daerah itu besar mencapai 30% dari anggaran pemerintah. Dengan begitu menurutnya bisa mendukung pembangunan di daerah.

"Hanya saja sekali lagi dana infrastruktur kita kalau menurut saya masih kurang akomodatif, kalau bisa Rp200 triliun sampai Rp300 triliun saja maka sudah terlihat political will pemerintah ke arah itu," ujarnya.

Ia menuturkan, anggaran bagi energi yang mencapai Rp 200 triliun itu seharusnya bisa mengalir ke infrastruktur. [inilah]
      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :