Menurut Masinton, proses pelaksanaan renegosiasi yang dilakukan pemerintah SBY dengan Freeport saat ini akan mengulangi kecerobohan dan kekonyolan pada rezim Orde Baru Soeharto. "Penandatangan Kontrak Karya I (1967) dan II (1991) sangat merugikan kepentingan masyarakat Papua dan kepentingan nasional Indonesia dalam jangka panjang,"ujarnya.
Lebih lanjut Masinton menjelaskan, pada 10 Januari 2012 lalu SBY menerbitkan Keppres Nomor 3 Tahun 2012 tentang pembentukan Tim Evaluasi untuk penyesuaian Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri ESDM Jero Wacik. Ia menambahkan, pemerintah Indonesia telah melakukan kebijakan divestasi atau pengalihan saham dari PT Freeport kepada pemerintah Indonesia yang diatur dalam pasal 24 Kontrak Karya II tahun 1991.
"Dalam pasal tersebut mennyebutkan, kewajiban divestasi PT Freeport terdiri dari dua tahap, pertama, melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36 persen dalam 10 tahun pertama, kedua kewajiban divestasi tahap kedua mulai 2001, Freeport melego saham 2 persen pertahun hingga kepemilikan saham nasional menjadi 51 persen,"jelasnya.
Namun, kewajiban divestasi ini digugurkan sendiri oleh Orde Baru dengan terbitnya PP No 20 Tahun 1994 ditambah surat keputusan BKPM No 415/A.6/1997 yang antara lain berisi kententuan membebaskan PT Freeport dari kewajiban divestasi. "Hingga saat ini pemerintahan SBY semakin tidak berdaya dihadapan Freeport,"katanya.
PP No 24 Tahun 2012 tentang kewajiban divestasi PMA sebesar 51 persen, hanya berlaku untuk izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK), dan tidak belaku untuk Kontrak Karya sebelumnya.
"Sampai sekarang kepemilikan saham nasional sangat kecil hanya 9,36 persen sedangkan Freeport 90.64 persen, sangat jauh sekali,"paparnya.
Ia menambahkan, renegosiasi kontrak antara pemerintah SBY dengan PT Freeport yang tidak mengedepankan prinsip negara berdaulat dan merdeka harus ditolak, karena hasilnya akan merugikan kepentingan nasional dalam jangka panjang.
"Bila Kontrak Karya II dibuat untuk masa berlaku 30 tahun, berikut dua kali perpanjangan 10 tahun, maka Kontrak Karya II Freeport baru akan berakhir 2014,"ujar Masinton.
PT Freeport Kuasai 6,2 Persen Wilayah Papua
Ketua Umum Dewan Pimpinan (DPN) Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Mansinton Pasaribu mengatakan penguasaan wilayah penambangan PT Freeport yang sangat luas mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau sama dengan 6,2 persen dari luas wilayah Papua.
"PT Freeport McMoran sudah mengekploitasi tanah Papua sejak 1967," ujar Mansinton Pasaribu, dalam Dialog Pemuda dan Konfrensi Pers menanggapi Kedatangan Menlu USA Hillary Clinton dengan tajuk "Nasionalisasi dan Usir Freeport, Usir Neokolonialisme & Imperialisme" di Kantor DPN Repdem, Jakarta Pusat, (2/09/2012).
Penguasaan wilayah tersebut, lanjut Masinton, termasuk 119.435 hektar kawasan hutan lindung dan 1,7 juta hektar kawasan hutan konservasi. "PT Freeport belum punya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan, tapi mereka sudah beroperasi dan babat habis hutan untuk eksploitasi dan eksplorasi tambang sejak 1967," tuturnya. Artinya, terang Masinton, selama ini PT Freeport telah merugikan negara, karena Pendapatan Bukan Pajak tidak diterima oleh negara.
Sejarah mencatat, tambang Freeport dimulai tahun 1967, setelah UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan oleh Indonesia, sebelum UU Pertambangan di sahkan (1968), banyak pihak menyebutkan jika Freeport adalah kompensasi rezim Soeharto kepada AS yang mendukung penuh rezim orde baru Soeharto pada awal kekuasaannya.
Sementara, juru bicara National Papua Solidarity (Napas) Alves Fonataba mengatakan rakyat Papua tidak sedikit pun mendapat keuntungan dari keberadaan PT Freeport. Justru rakyat Papua menanggung semua dampak buruk dari kegiatan perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat itu.
"Masyarakat Papua telah beberapa kali mengadakan perlawanan namun setiap kali protes selalu dijawab Pemerintah dengan kekerasan, tahun 1977 Pemerintah menjawab protes kami dengan dijadikannya Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan masyarakat menjadi korban," tutur Alves. (Tribunnews.com)