Wakil Komisi III DPR, Nasir Djamil menjelaskan, sebelum dilakukan Pilkada, MK sebaiknya melakukan sosialisasi terkait tata cara beracara dalam persidangan sengketa Pilkada.
"Sebelum pilkada itu berlangsung perlu ada sosialisasi beracara di MK, apa saja yang bisa diterima dan yang ditolak, apa saja bukti-bukti yang mendukung dipengadilan," kata Nasir, Jakarta, Minggu (16/9/2012).
Sosialisasi itu, lanjut Nasir, lantaran masih banyak warga Indonesia yang belum paham soal tata cara persidangan di MK. Untuk itu, perlu adanya perbaikan sistem di institusi pimpinan Mahfud MD itu.
"Selama ini barangkali pemahaman beracara di MK itu belum dipahami banyak orang," tegas politisi PKS itu.
Dalam hal ini pasal 24 C yang menyatakan bahwa 'Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum'.
Sengketa Pilkada Ditangan MA Rentan Korupsi
Usulan dilimpahkannya penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) dari Mahkamah Konstitusi (MK) ke Mahkamah Agung (MA) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak tepat. Karena, hal itu akan meningkatkan terjadinya korupsi.
Wakil Ketua Komisi III DPR yang membidangi hukum, Nasir Djamil mengatakan, selama ini banyak yang tidak puas dengan keputusan MA. Selain proses yang membutuhkan waktu cukup lama, pengadilan di MA juga sangat rentan terjadinya kolusi.
"Kalau MA itu nanti berjenjang, prosesnya akan cukup lama. Sebenarnya bisa saja itu dilakukan, tapi itu peluang adanya kolusi antara pemenang Pilkada dengan hakim-hakim di pengadilan," terang Nasir, di Jakarta, Minggu (16/9/2012).
Kata Nasir, terjadinya kolusi lantaran kedekatan antara pemenang Pilkada dengan hakim yang di pengadilan. "Kedekatan dengan hakim-hakim di pengadilan," tegasnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa pada dasarnya pilkada masuk sebagai rezim pemilu, sehingga sengketa hasil pemilu harus diselesaikan di MK sesuai dengan UUD 1945.
"Kalau menurut saya tetap saja di MK, tapi memang di MK banyak sekali yang kecewa. Banyak kelemahan aspek non teknis yudisial," jelas politisi PKS itu.
Dalam hal ini pasal 24 C yang menyatakan bahwa 'Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum'.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengusulkan agar penanganan hasil sengketa pilkada dikembalikan ke MA demi efisiensi dan usulan ini telah masuk pembahasan di DPR. [inilah]