Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus besar NU K.H. said Aqiel Siradj mengatakan, saat ini masyarakat Indonesia tengah terjebak dalam kehidupan yang materialistis dan pragmatis.
“Untuk itu spirit pesantren perlu dihidupkan kembali dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya dalam acara pembukaan Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Kabupaten Cirebon, Sabtu (15/9/12).
Said mengatakan, spirit pesantren tidak lepas dari nilai kejujuran, pengabdian, kesederhanaan, gotong royong, dan kebersamaan. Spirit itu pula yang mendasari PBNU untuk kembali menggelar hajatan besar seperti Munas Alim Ulama dan Konbes di pesantren di desa kecil seperti Kempek.
Said menegaskan, NU berkomitmen untuk kembali ke pesantren secara fisik dan spiritual. Sisi spiritual dilakukan dengan menggali nilai-nilai luhur pesantren untuk disebarkan ke masyarakat. Sementara secara fisik NU mengajak para ulamanya untuk menggelar hajatan bear di pesantren-pesantren desa.
Langkah seperti itu, tambah Said, sebenarnya sudah dilakukan NU sejak lama. Ia menyebutkan pada 1983-1984 NU Munas dan Muktamar NU juga digelar di pesantren Desa Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Begitu pula pada 1986, NU menggelar hajatan serupa di Desa Kasugihan, Cilacap, Jawa Tengah, serta pada 1987, menyelenggakan Munas di Desa Bagu, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Meski demikian, kata Said, dari desa-desa terpencil itulah justru bermunculan ide-ide besar mengenai pembangunan nasional dan konsel Ijtihad (pemikiran Islam). Begitu juga keputusan NU yang sempat dinilai kontroversial dalam membolehkan perempuan menjadi Presiden RI, muncul di Desa Bagu.
Terkait Munas di Kempek, Said memuji masyarakat sekitar yang turut membantu dengan ikhlas dalam persiapan Munas dan Konbes. “Itu merupakan tanda masyarakat tetap berswadaya dan gotong royong. Pancasila masih hidup dan berkembang di masyarakat dalam bentuk nyata. Itulah cara NU dan pesantren ber-Pancasila," katanya.
Berbicara masalah sumbangan orang ke pesantren, Said tidak menampik bahwa hal itu tidak jarang berujung dengan permintaan doa restu dan dukungan ulama dalam pencalonan di ajang politik.
“Munas dan Konbes juga akan membahas apakah dibenarkan orang-orang memberikan sumbangan ke pesantren-pesantren dan mendatangi para kyai kalau akhirnya mereka melamar untuk menjadi gubernur, bupati, atau pemilihan legislatif," kata Said.
Terkait pajak, Said menegaskan, dalam Islam tida ada kewajiban tentang hal itu. Wajar bila saat ini masyarakat mulai antipati setelah pajak yang mereka bayar dengan sukarela disalahgunakan oleh orang tak bertanggung jawab. Hal ini akan dibahas mendalam dalam sidang-sidang komisi yang dilaksanakan pada Minggu (16/9/12).
Sementara itu cucu pendiri NU Yeni Abdurahman Wahid mengatakan, keenganan masyakat untuk membayar pajak saat ini merupakan bentuk protes dalam bentuk positif terhadap penyimpangan yang terjadi. “Ini lebih baik daripada protes berbentuk anarkisme.
Namun, bentuk protes seperti ini juga akan berimbas pada lumpuhnya sendi-sendi pemerintahan. Ini harus direspon positif oleh pemerintah dengan perbaikan sistem dan pengawasan, karena masyarakat sudah jenuh dengan penyimpangan yang terjadi,” katanya.
Kendati demikian, Yeni menegaskan bahwa dirinya tidak menolak atau menyetujui moratorium pajak. Yang jelas, Yeni berharap semua yang diputuskan dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU akan membawa kemaslahatan bagi ummat. (A-178/A-108/PR)