"Bukannya pemerintah provinsi memutus mereka tidak bisa berobat. Tapi sharing pembiayaan SPM itu biayanya ditanggung oleh pemerintah kabupatan atau kota asalnya," ujar Sekdaprov Jawa Timur Rasiyo saat jumpa pers bersama Asisten IV Ahmad Sukardi, Dirut RSU dr Seotomo Dodo Anondo, Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Jatim Boedi Rahaju di kantor Gubernur Jatim Jalan Pahlawan, Surabaya, Kamis (30/8/2012).
Ia menerangkan, keputusan tersebut dilakukan, karena anggaran untuk pembiayaan pengobatan warga miskin membengkak. Dari anggaran sharing antara pemprov dengan pemkab/pemkot sekitar Rp 340 miliar, Pemprov kebagian menyediakan anggaran Rp 171 miliar. Dana tersebut digunakan warga miskin kuto Jamkesda.
Pengobatan gratis warga miskin di Jawa Timur yang mendapatkan pelayanan Jamkesmas (program dari pemerintah pusat) sekitar 10,7 juta jiwa. Sedangkan Jamkesda (program dari pemprov dan pemerintah daerah kabupaten/kota) sekitar 1,4 juta jiwa.
"Tapi perjalanannya ada tambahan lagi, yang menggunakan SPM. Pelayanan yang menggunakan SPM ini jumlahnya lebih besar sekitar 72,5 persen dan sisanya yang dilayani menggunakan Jamkesda," tuturnya.
Pengobatan yang menggunakan SPM pada Agustus sebesar Rp 20 miliar. Sharing pembiayaannya Rp 10 miliar dari pemprov dan sisanya dari pemda setempat. Seandainya September masih diberlakukan gratis bagi SPM, diperkirakan biayanya sebesar Rp 30,6 miliar.
"Keputusan per 1 September ini kesepakatan bersama. Dan kita panggil semua sekda yang daerahnya melebihi kuota," jelasnya, sambil menambahkan sekda yang dipanggil yakni dari Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu, Mojokerto, dan Kabupaten Madiun.
Mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jatim ini menerangkan, untuk menghindari kejadian pembengkaknya anggaran kesehatan bagi warga miskin non Jamkesda dan Jamkesmas, pihaknya akan kembali mendata warga miskin yang layak mendapatkan bantuan pengobatan gratis dengan melibatkan pemerintah daerah setempat, badan pusat statistik (BPS) daerah hingga kelompok dasa wisma. Data tersebut digunakan untuk tahun 2013.
"Semua desa akan kita sisir, dengan melibatkan kelompok dasa wisma atau RT RW yang lebih tahu. Semua datanya biar nanti akurat. Kalau sudah disetujui kabupaten/kota, surat keputusannya akan dibuat bupati atau walikota dan kartunya diterbitkan Dinas Kesehatan Provinsi. Juga nanti akan ditambah foto. Kalau fotonya nggak cocok ya nggak bisa," terangnya.
(detikSurabaya)