Selebihnya WNI tertangkap aparat hukum di Arab Saudi, Filipina, Australia, Pakistan, Amerika Serikat, India, Thailand, Brazil, Ekuador, Iran, Argentina, Chili, Kamboja, Kanada, Kolombia, Srilanka dan Timor Leste. Dari jumlah tersebut, 284 WNI divonis hukuman mati dengan mayoritas berjenis kelamin perempuan. Dari 284 orang tersebut, 271 dijatuhi hukuman mati di Malaysia dan 13 sisanya di Cina.
Bagaiamana di Indonesia? Baru saja saja terungkap lembaga peradilan tertinggi di Indonesia membatalkan hukuman mati bagi dua bandit narkoba. Pertama dijatuhkan kepada pemilik heroin 5,8 kg Hillary K Chimezie dan kedua bagi pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan. Hukuman mereka diturunkan jadi 12 tahun dan 15 tahun penjara. Putusan ini dibuat oleh ketua majelis kasasi yang juga Ketua Muda MA bidang Peradilan Militer, Imron Anwari.
Menanggapi putusan ini, MA buru-buru memberikan pernyataan bahwa pembatalan hukuman mati dengan alasan HAM bukan sikap resmi institusi. "Itu pendapat Pak Imron, tidak semua hakim agung setuju," ujar juru bicara MA Djoko Sarwoko.
Ketua Muda MA bidang Pidana Khusus ini mengaku berseberangan pendapat dengan putusan tersebut. Bagi Djoko, Indonesia masih menerapkan hukuman mati dan hal tersebut konstitusional. "Kalau pendapat saya, tidak harus seperti itu. Mengenai pidana mati, di Indonesia masih mempertahankan pidana mati, termasuk 60 negara yang menggunakan hak retensi untuk pidana mati di antara 120 negara. Di negara tetangga saja narkotika di hukum mati, nanti bisa-bisa mereka lari ke sini semua," tandas Djoko.
Mereka Bicara Pembatalan Vonis Mati Bandit Narkoba
Dua kali Mahkamah Agung (MA) membatalkan hukuman mati bagi bandit narkoba. Pertama dijatuhkan kepada pemilik heroin 5,8 kg Hillary K Chimezie dan kedua bagi pemilik pabrik ekstasi Hengky Gunawan. Putusan ini dibuat oleh ketua majelis kasasi yang juga Ketua Muda MA bidang Peradilan Militer, Imron Anwari.
"Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)," tulis salinan PK, Sabtu (6/10/2012). Atas putusan ini, institusi MA tegas menyatakan putusan tersebut bukanlah sikap resmi MA. Sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, putusan tersebut hanyalah pandangan pribadi. "Ini bukan sikap MA, itu pandangan Pak Imron," sanggah juru bicara MA, Djoko Sarwoko.
Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, tidak mau turut campur dalam substansi putusan. Namun MK tegas menyatakan hukuman mati konstitusional dan tidak melanggar HAM. "Putusan MK menyatakan hukuman mati konstitusional, masih ada di perundang-undangan Indonesia seperti di UU Teroris, KUHP, UU Narkotika," kata juru bicara MK, Akil Mochtar.
Kekecewaan jelas diutarakan Badan Narkotika Nasional (BNN), otoritas pemberantasan kartel narkotika di Indonesia. Kekecewaan itu bukannya tanpa alasan, sebab para gembong narkotik ini telah melanggar HAM ribuan orang. 15 Ribu nyawa orang terenggut karena mengkonsumsi narkoba.
"Berapa anak bangsa yang mati sia-sia karena menggunakan narkotika? Dalam perhitungan kita, ada 15 ribu anak bangsa yang mati karena penyalahgunaan narkoba," kata Kepala Humas BNN, Kombes Sumirat Dwiyanto. Kekecewaan muncul tidak hanya muncul dari kalangan penegak hukum. Pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) mengecam putusan tersebut sebab dalam Islam hukuman mati diperbolehkan.
"Nah produsen narkotika ini bisa dikategorikan syirrir dan layak dihukum mati. Kalau dikatakan melanggar HAM, produsen narkotika lebih dari sekedar melangar HAM. Mereka merusak bangsa dan merenggut hak hidup orang-orang yang terpengaruh mengkonsumsi narkotika," kecam Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.
Toh, tidak selamanya setuju bandit narkotika internasional ini dihukum mati. Komnas HAM menilai putusan ini menjadi preseden positif dalam penegakkan HAM di Indonesia. "Apa yang dilakukan MA merupakan preseden yang baik untuk penegakan HAM. Artinya hakim mencoba meletakkan ancaman hukuman mati dari perspektif HAM," kata ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim.
Tidak itu saja, penolakan hukuman mati bagi bandit narkotika kartel internasional juga datang dari kalangan anggota DPR. "Saya memang tidak setuju dengan hukuman mati kecuali terhadap kasus-kasus membahayakan seperti terorisme atau kelainan membunuh. Tapi MA harusnya memberi hukuman berat (atas kasus narkoba), setidaknya hukuman sumur hidup atau 20 tahun penjara," ujar anggota komisi III DPR Dimyati Natakusumah.
Bagaimana dengan sikap pemerintah? Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Amir Syamsuddin mengaku sangat berat menjawab permasalahan tersebut. "Saya kok belum siap menjawab ya, berat ya. Saya harus mempersiapkan jawaban itu. Ini butuh jawaban yang terbaik yang harus saya berikan," kata Amir Syamsuddin. (sumber: news.detik.com)