Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp. 081 234 700 500 - Email : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2019 @ majalahbuser.com
Jakarta - Gelombang penolakan UU Cipta Kerja masih berlanjut hingga hari ini. Selain terkait buruh, undang-undang ini juga dikhawatirkan merugikan lingkungan.

Fotografer alam sekaligus pegiat konservasi, Regina Safri, mengungkapkan pendapatnya perihal UU Cipta Kerja ini. Regina yang telah melakukan penelitian dan menerbitkan buku seputar kehidupan gajah Sumatera dan orang utan Kalimantan itu menilai UU Cipta Kerja tak boleh abai pada lingkungan.

"Jika memang kita berniat meningkatkan sektor perekonomian saja tanpa melihat sektor lingkungan dan sosial itu pasti tidak mungkin,"katanya melalui siaran IGLive bersama detikTravel, Sabtu (10/10/2020).

"Makanya, saat merancang RUU harus melibatkan orang-orang yang paham betul di situ. Supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,"ujarnya.

Ia juga menyampaikan bahwa saat ini negara-negara di dunia sudah mulai menunjukkan kepedulian mereka pada lingkungan. Segala bentuk pembangunan menerapkan prinsip keberlanjutan (sustainability) yang memperhatikan 3 hal yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.

Dikutip dari detikcom, salah satu pasal krusial di UU Cipta Kerja adalah Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Pasal 88 UU PPLH berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan bagi penegakan hukum lingkungan.

Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa penghapusan pasal ini berdampak pada hilangnya tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan.

"Bahwa pertanggungjawaban mutlak korporasi itu berusaha diminimalkan dan terindikasi akan hilang dengan sendirinya. Artinya pemerintah lebih melindungi keberlangsungan korporasi dibanding upaya penegakan hukum secara mutlak berdasarkan UU 32/2009," ujar Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman kepada wartawan, Selasa (6/10).

Selain itu, UU Cipta Kerja juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dalam UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi pengusaha untuk melakukan kegiatan usahanya:

Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Selanjutnya, dalam UU Cipta Kerja, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.

14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.

Koordinator Kampanye WALHI Edo Rakhman mengatakan bahwa Omnibus Law meringkas pasal tersebut dalam izin usaha. Dia menduga itu untuk menghilangkan izin lingkungan.

"Jadi jelas bahwa izin lingkungan itu dihilangkan. Kalau di Pasal 37 Omnibus, Perizinan berusaha dapat dibatalkan apabila, c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen AMDAL dan UKL-UPL (bukan izin lingkungan). Artinya, AMDAL dan UKL-UPL itu adalah bagian dari izin berusaha," jelasnya. (pin/fem/detik)
Selasa, 13 Oktober 2020

Soal UU Cipta Kerja, Pegiat Konservasi: Jangan Abai pada Lingkungan
Kebakaran hutan di Riau
      Berita Nasional :

       Berita Daerah