Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama membenarkan ada setoran kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dia mengatakan pernah disodori sejumlah uang saat mulai menjabat anggota Komisi II Bidang Pemerintahan DPR pada 2009. “Saya pernah ditawari Rp 15 juta saat itu, tapi saya tolak,” kata Ahok, sapaan, Selasa 30 Oktober 2012.
Tawaran tersebut berasal dari sesama anggota Komisi II. "Saya yakin uang itu bukan berasal dari anggaran resmi DPR,” ujarnya.
Pengakuan serupa diungkapkan oleh bekas anggota DPR periode 1999-2004, Djoko Susilo. Ia mengatakan pemberian upeti biasanya dilakukan oleh mitra kerja Komisi. Bentuknya seperti mengongkosi tiket pesawat dan biaya hotel.
Pemberian fasilitas oleh mitra kerja Komisi dilakukan saat anggota Dewan mengunjungi konstituen atau menyelenggarakan acara di daerah pemilihannya. "Bisa saja bentuknya berupa honor sebagai pembicara," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.
Menurut anggota Komisi Pertahanan, Lily Chodijah Wahid, pemberian upeti sudah menjadi rahasia umum di DPR. Uang pelicin biasanya diberikan dalam pembahasan anggaran berjumlah besar, yang berjalan alot. "Upeti diberikan ketika proyek atau anggaran berhasil diloloskan oleh anggota Dewan," katanya ketika dihubungi tadi malam.
Bekas anggota DPR periode 1999-2004, Agus Condro Prayitno, mengatakan upeti kerap diberikan oleh mitra Komisi bila banyak anggaran yang belum disetujui. Anggaran biasanya diberi tanda bintang karena jumlahnya belum disepakati oleh Dewan.
Uang dikucurkan saat pembahasan rancangan undang-undang ataupun pencairan anggaran dilakukan di luar Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Namun ia mengaku lupa jumlah uang yang diterimanya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta semua pihak mengawal pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pengawasan dilakukan agar tak ada pemberian upeti. Ia meminta Komisi Pemberantasan serta Badan Pemeriksa Keuangan bekerja sama mengawal dan menyelamatkan APBN. "Yang penting uang rakyat betul-betul digunakan sebaik-baiknya," katanya sebelum bertolak ke Inggris, kemarin.
Kemarin, beredar pesan singkat yang menyebutkan inisial sejumlah politikus Senayan yang sering meminta jatah kepada BUMN. ”Ini inisial anggota DPR RI yang memeras BUMN: AK, IM, SN, NW, BS (Golkar), PM, EV, CK (PDIP), AR, IR, SUR (PKS), FA (Hanura), ALM, NAS (PAN), JA, SG, MJ (PD), MUZ (Gerindra),” demikian isi pesan itu. Kepala Humas dan Protokoler Kementerian BUMN Faisal Hilmi membantah bahwa data tersebut bersumber dari lembaganya.
Sebelumnya, Ketua DPR Marzuki Alie tersinggung dengan Dahlan soal adanya upeti dari politikus di Senayan. "Kalau disebut oknum tidak apa-apa. Tapi ini kan disebutnya anggota," ujar Marzuki.
Djoko Susilo Benarkan Ada Upeti untuk Senayan
Mantan anggota DPR periode 1999-2004 Djoko Susilo mengakui adanya praktek setoran ''jatah'' di parlemen sejak lama. “Dulu jumlahnya tidak banyak, tidak segawat sekarang,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini, Selasa, 30 Oktober 2012.
Selain itu, dulu praktek jatah menjatah itu tidak dilakukan dengan kasar. “Biasanya bentuknya seperti membayari tiket pesawat dan ongkos hotel untuk anggota DPR,” ujar mantan wartawan Jawa Pos ini.
Selain itu, mitra kerja komisi akan memfasilitasi anggota dewan untuk mengunjungi konstituennya di daerah pemilihan, sekaligus menyelenggarakan acara di daerah tersebut. “Bisa juga diberikan honor sebagai pembicara,” kata Djoko yang kini menjadi Duta Besar Indonesia di Swiss.
Djoko mengibaratkan praktek pemberian gratifikasi kepada anggota DPR seperti kentut. "Ada baunya, tapi sulit dibuktikan," ujar Djoko.
Bekas anggota Komisi Pertahanan ini mengklaim tak semua komisi melakukan praktek jatah-menjatah itu. “Kalau dulu istilahnya ada Komisi Mata Air dan Komisi Air Mata,” ujar dia. Komisi Mata Air, kata Djoko, merujuk pada komisi yang banyak menerima fasilitas dari para mitra kerjanya. Sebagai contoh, antara lain, Komisi BUMN.
Sedangkan Komisi Air Mata, ujar Djoko, merujuk pada komisi yang nyaris tak pernah mendapatkan fasilitas dari para mitra kerjanya. “Saya ini masuk Komisi Air Mata,” kata Djoko. (tempo)