Saat itu, Jono berencana pulang ke kampong halamannya setelah menjadi kuli bangunan di Unitomo Surabaya.
Dari perkenalan itu, Puguh mengangkat Jono sebagai sopir yang bertugas mengantarkan ke beberapa kantor seperti kantor pajak bea dan cukai. Pada tahun 2007 Puguh mengajak terdakwa ke notaries dan menjadikannya sebagai komisaris PT Sulasindo Niagatama.
Kendati sebagai komisaris setiap kali ada order yang menjalankan Anas, Puguh dan Agung. Jono hanya diminta menandatangani dokumen yang kemudian dikembalikan kepada mereka bertiga. Jono tetaplah kuli yang berubah menjadi pesuruh di perusahaan yang beralamat di jalan di Jl dr Wahidin Sudirohusodo Gresik. Setiap bulannya dia hanya menerima gaji antara Rp 150-250 ribu.
Alhasil, ancaman hukuman tiga tahun pun ditujukan ke Jono oleh Jaksa Sri Murdiyati, menurut Jaksa pria asal Sragen Jawa Tengah itu terbukti menggelapkan pajak sebesar Rp 118 miliar. Selain kurungan badan, terdakwa yang biasa disapa Jono juga didenda senilai Rp 336 miliar. Bila tidak mampu membayar diganti dengan hukuman badan selama tiga bulan penjara.
“Terdakwa melanggar pasal 39 a jo pasal 43 UU RI No 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 28 tahun 2007 dan UU RI No 16 tahun 2009 jo pasal 6 ayat (1) KUHP, sebab bersalah menerbitkan faktur pajak fiktif,” kata Sri Murdiyati di ruang sidang Sari 1 PN Surabaya.
Menurut jaksa, Jono yang paling bertanggung jawab dalam perkara penyalahgunaan faktur pajak fiktif oleh perusahaan yang bergerak di bidang impor barang itu. Dia menerbitkan faktur pajak seolah-olah telah menjual barang impor kepada beberapa perusahaan.
Mendengar tuntutan jaksa, penasihat hukum terdakwa Raharjo menyatakan tuntutan jaksa tidak berdasarkan fakta. Banyak fakta persidangan yang tidak menjadi pertimbangan. Sayang, dia tidak menjelaskan fakta yang dimaksud. “Nanti saja dalam pledoi (pembelaan) kami akan sampaikan,” ucapnya.
Raharjo menegaskan, tuntutan jaksa tidak beralasan. “Tuntutannya ngawur,” tambahnya. Denda Rp 336 miliar yang dianggap sebagai ganti rugi tidak berdasarkan perhitungan yang jelas. “Uang Rp 336 miliar itu dasarnya dari mana?” tanyanya. [beritajatim]