Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2011 @ majalahbuser.com
Welcome to Our Website   www.majalahbuser.com
Redaksi Iklan Pemasaran : Komplek Ruko Stadion Brawijaya  Jl. Ahmad Yani D-6  Kediri
Telp.(0354)-7000500 Fax. 0354 – 692543  E-mail : redaksi@majalahbuser.com
copyright . 2012 @ majalahbuser.com
Selalu dipanggil "Yang Mulia" dalam setiap persidangan, hidup para hakim ternyata tak termuliakan. Gaji mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan pegawai negeri biasa. Padahal, menurut undang-undang, hakim adalah pejabat negara. Pemerintah semestinya segera memperhatikan nasib mereka.
Rabu, 18 April 2012

Telantarnya Yang Mulia
Tak adanya perlakuan layak itulah yang membuat para hakim memprotes. Di antara mereka bahkan ada yang menggugat Undang-Undang No. 5 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-undang ini dengan jelas menyebutkan, hakim mendapat tunjangan khusus. Masalahnya, aturan ini dimentahkan lagi oleh pasal lain yang mensyaratkan adanya peraturan pelaksana mengenai gaji dan tunjangan hakim.

Aturan pelaksana itu hingga sekarang belum dibuat oleh pemerintah. Itu sebabnya, hakim meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal yang memuat klausul perlunya aturan pelaksana itu. Di mata hakim, aturan tambahan ini membuat hak mereka atas tunjangan khusus tak segera dipenuhi. Aturan ini juga dianggap mengada-ada karena hakim bukan berada di bawah pemerintah, melainkan dalam kendali Mahkamah Agung.

Perlakuan buruk itu tidak hanya dialami oleh hakim PTUN, tapi oleh hampir semua hakim. Pemerintah memang memberikan remunerasi bagi para hakim sejak 2007, tapi nilai yang mereka terima baru 70 persen dari angka yang dijanjikan. Gaji pokok mereka pun sudah empat tahun tak naik. Kecilnya pendapatan ini pula yang membuat para hakim berniat mogok--ancaman yang sebaiknya tidak benar-benar diwujudkan. Bisa dibayangkan bila 6.000 hakim mogok, berapa sidang yang harus tertunda.

Minimnya pendapatan para hakim bisa terlihat dari gaji pokok yang mereka terima. Seorang hakim bergolongan III yang sudah bertugas 10 tahun, misalnya, hanya bergaji Rp 2,4 juta. Ditambah tunjangan plus remunerasi dua bulanan, total penghasilan mereka sebulan sekitar Rp 6 juta. Ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan guru bersertifikat dan bergolongan sama, yang mendapat hampir Rp 9 juta sebulan.

Imbalan itu tidak sepadan dengan status hakim yang bukan pegawai negeri biasa. Menurut Undang-Undang No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mereka merupakan pejabat negara. Dengan status itu, selain surat pengangkatannya ditandatangani presiden, mereka semestinya mendapat berbagai tunjangan yang berbeda dengan pegawai biasa. Misalnya, tunjangan transpor, rumah, dan uang rapat, yang selama ini dinikmati oleh pejabat seperti bupati, gubernur, atau wakil rakyat.

Tanpa harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah seharusnya segera membuat keputusan menaikkan gaji dan tunjangan para hakim. Status mereka sebagai pejabat negara semestinya tidak hanya di atas kertas. Penghasilan dan tunjangan mereka harus pula disesuaikan dengan status ini. Dibandingkan dengan jumlah total pegawai negeri yang mencapai 4,7 juta orang, menaikkan gaji dan tunjangan sekitar 6.000 hakim tentu tidak terlalu memberatkan anggaran.

Memberikan gaji yang besar memang tidak serta-merta membuat para hakim menjauh dari korupsi. Tapi membiarkan hakim telantar akan menyebabkan mereka semakin mudah tergoda untuk memperjualbelikan putusan. (tempo)

OPINI
      Berita Nasional :

      Berita Daerah  :