Ia terbukti menerima suap pengurusan anggaran di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan Nasional.
"Partai Demokrat ini menghormati proses hukum yang berlaku pada kadernya. Kalau pengadilan dan KPK sudah tuntaskan, Demokrat akan menghormati," kata Hinca di kantornya, Jakarta, Kamis (10/1/2013).
Hinca menambahkan, Demokrat menyerahkan sepenuhnya vonis tersebut kepada Angie. Jika Angie tidak puas, terang Hinca, kuasa hukumnya dapat melakukan upaya banding. Partai, lanjutnya, tidak akan pasang badan jika Angie akhirnya mengajukan banding.
"(Vonis Angie) kami anggap sesuai, terima apa adanya karena ini proses pengadilan, tidak ada yang perlu dikomentari lagi,"pungkasnya.
Seperti diberitakan, Angie terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut dengan menerima pemberian berupa uang senilai total Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar Amerika dari Grup Permai.
Selaku anggota DPR sekaligus Badan Anggaran DPR, Angie menyanggupi untuk menggiring anggaran proyek perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional sehingga dapat disesuaikan dengan permintaan Grup Permai. Hakim juga menilai Angie tidak terbukti menggiring anggaran proyek wisma atlet SEA Games Kemenpora.
Angelina Bebas dari Tuntutan Bayar Uang Pengganti
Angelina Sondakh tidak jadi membayar uang pengganti senilai lebih-kurang Rp 14,5 miliar seperti yang dituntut jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Tuntutan jaksa mengenai kewajiban Angelina untuk membayar uang pengganti tidak dikabulkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Dalam amar putusannya, hakim menilai Angie tidak patut membayar uang pengganti kepada negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan ini dibacakan majelis hakim Tipikor yang terdiri dari Sudjatmiko, Marsudin Nainggolan, Afiantara, Hendra Yosfin, dan Alexander secara bergantian dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (10/1/2013).
"Ketentuan Pasal 18 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat diterapkan kepada terdakwa," kata hakim Marsudin Nainggolan.
Menurut hakim, Angelina tidak patut membayarkan uang pengganti karena selaku anggota DPR ataupun anggota Badan Anggaran DPR, dia tidak memiliki kewenangan sendiri untuk menentukan penganggaran proyek Kementerian Pendidikan Nasional. "Jadi, kewenangan dalam menentukan anggaran bukan kewenangan tunggal, melainkan kolektif," ujarnya.
Dengan demikian, kata hakim, uang Rp 2,5 miliar dan 1.200.000 dollar AS yang diterima Angie tidak dapat dipastikan berapa jumlahnya yang benar-benar dinikmati dia sendirian dan berapa jumlah yang dinikmati orang lain. Selain itu, menurut hakim, jaksa KPK tidak menyita uang yang diterima Angelina dari Grup Permai tersebut.
"Dan uang tidak diterima secara langsung, tapi secara tidak langsung," tambah Marsudin.
Dalam tuntutannya, jaksa menilai uang yang diterima Angie dari Grup Permai tersebut patut dikembalikan ke negara. Menurut jaksa, uang tersebut diambil dari kas Grup Permai yang patut diduga sebagai hasil tindak pidana korupsi terkait proyek lain.
Sementara menurut hakim, uang itu murni berasal dari Grup Permai dan tidak dapat dikatakan kerugian negara. Dengan tidak dikabulkannya tuntutan jaksa KPK mengenai perampasan uang ini, KPK gagal memiskinkan koruptor.
Sebelumnya, KPK sengaja gencar mengembalikan kerugian uang negara melalui penerapan Pasal 18 saat menyusun dakwaan. Dalam putusannya, majelis hakim Tipikor menyatakan Angie bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima pemberian dari Grup Permai.
Pemberian itu merupakan realisasi atas fee karena Angie telah menyanggupi untuk menggiring anggaran program perguruan tinggi di Kemendiknas sehingga nilai anggarannya dapat disesuaikan dengan keinginan Grup Permai. Hakim pun menjatuhkan hukuman empat tahun enam bulan penjara ditambah denda Rp 250 juta yang dapat diganti dengan kurungan enam bulan kepada Angie. (kompas)