"Di pelabuhan (Sape), hari ini aman dan kondusif. Kegiatan masyarakat, angkutan orang berjalan dengan baik. Pengaturan diatur supaya semua lewat, masyarakat bisa melaksakan ibadah Natal," ujar Saud dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Minggu (25/12/2011).
Insiden kekerasan di Sape terjadi saat aparat Polres Bima yang didukung Satuan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Satuan Brimob Polda NTB) membubarkan paksa aksi unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, NTB.
Unjuk rasa itu dilatari penerbitan SK baru bernomor 188/45/357/004/2010 yang berisi pemberian izin kepada PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN) untuk mengeksplorasi lahan di Bima seluas 24.980 hektar. Hal ini memicu kekhawatiran warga bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan PT SMN mengganggu mata pencarian mereka yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Saud kembali menjelaskan, tindakan pemblokadean Pelabuhan Sape yang menyebabkan kegiatan transportasi, baik dari maupun ke NTT-NTB, tidak bisa dibiarkan. Polri, kata dia, sudah melakukan upaya negosiasi sejak 20 Desember agar kegiatan masyarakat tidak terganggu dengan unjuk rasa tersebut.
"Namun, forum ini tidak memenuhi, dan mereka bersikeras untuk mencabut SK mengenai tambang. Akhirnya, semua pihak coba negosiasi, tidak ada jalan keluar. Oleh karena itu, pagi, penanganan hukum (dilakukan) untuk membubarkan semua anggota reformasi anti-tambang, dan ini tidak ada hubungan izin tambang dengan jembatan," urai Saud.
Sebagaimana diberitakan, Sabtu kemarin, terjadi bentrok setelah polisi melakukan pembubaran paksa terhadap massa pengunjuk rasa dari Front Reformasi Anti-Tambang (FRAT) yang menguasai satu-satunya jembatan penyeberangan feri dari NTB ke NTT itu sejak 19 Desember 2011.
Sejauh ini, korban tewas dalam insiden itu mencapai dua orang, dan puluhan lainnya luka-luka. Dua korban tewas tersebut adalah dua warga Desa Suni, Kecamatan Lambu, Arif Rahman (18) dan Syaiful (17). Polri telah menetapkan 47 pengunjuk rasa sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Saat ini, para tersangka tengah menjalani pemeriksaan intensif di Polres Bima.
47 Pengunjuk Rasa Ditetapkan sebagai Tersangka
Kepolisian menetapkan 47 pengunjuk rasa sebagai tersangka perusakan dan pembakaran sejumlah kantor kepolisian, kantor pemerintah, dan puluhan rumah warga pascapembubaran pendudukan Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (24/12/2011). Hal itu diungkapkan Kadiv Humas Polri Irjen (Pol) Saud Usman Nasution, Minggu (25/12/2011).
"Tersangka ada 47 orang. Mereka massa pengunjuk rasa dan beberapa provokator," ujar Saud.
Saat ini, para tersangka tengah menjalani pemeriksaan intensif di Polres Bima. "Pasal yang dikenakan tentang pengrusakan, dan ada provokator," ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, Sabtu kemarin, terjadi bentrok setelah polisi melakukan pembubaran paksa terhadap massa pengunjuk rasa dari Front Reformasi Anti-Tambang (FRAT) yang menguasai satu-satunya jembatan penyeberangan feri dari NTB ke NTT itu sejak 19 Desember 2011.
Sejauh ini, Polri baru mengakui ada 2 warga yang tewas ditembak polisi karena melakukan tindakan anarki dan perlawanan. Polisi juga menyita 10 parang, 4 sabit, 1 tombak, 1 bom molotov, 2 botol berisi bensin, dan lain-lain.
Unjuk rasa itu dilatarbelakangi penerbitan SK baru bernomor 188/45/357/004/2010 yang berisi pemberian izin kepada PT Sumber Mineral Nusantara (PT SMN) untuk mengeksplorasi lahan di Bima seluas 24.980 hektar. Hal ini memicu kekhawatiran warga bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT SMN mengganggu mata pencarian mereka, yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan.
Korban tewas dalam insiden itu mencapai tiga orang, dan puluhan lainnya luka-luka. Tiga korban tewas tersebut adalah dua warga Desa Suni, Kecamatan Lambu, Arif Rahman (18), Syaiful (17), dan Immawan Ashary, kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah NTB. (KCM)