Berbicara di depan kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Kamis (10/11/2011), Todung, menjelaskan, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono berjanji menurunkan posisi Indonesia pada angka indeks persepsi korupsi (IPK) menjadi 5 dari 10 pada akhir jabatannya 2014.
Namun hingga kini segala sesuatu terkait dengan pemberantasan korupsi masih dingin.
Angka terakhir tahun 2010 yang dilansir Transparency International, IPK Indonesia masih sama seperti semula yakni 2,8. Angka itu masih jauh dari angka 5. " Waktu tersisa tiga tahun amat jauh dari cukup untuk mencapai IPK 5," kata Todung.
Indonesia masih jauh dari negara tetangga Malaysia dengan IPK 4,4, dan masih amat dekat dengan Vietnam dengan IPK 2,7.
Indonesia masuk peringkat 110 dari 178 negara yang disurvei IPK-nya. Todung mengingatkan, pemberantasan korupsi sudah diupayakan sejak RI dimulai berdiri, namun hasilnya jauh dari bagus.
Padahal, tema dasar dari pendirian pemerintah era ini setelah reformasi menjatuhkan Soeharto sebagai presiden, adalah pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Era ini memiliki tema besar antikorupsi, ungkap Todung, namun tidak ada tanda-tanda pemberantasan korupsi telah dilakukan dan memberi hasil yang mendasar, bahkan belasan tahun era reformasi.
Izin Presiden Seharusnya Tak Diperlukan
Permintaan izin kepada Presiden oleh penyidik Kepolisian Negara RI untuk menyelidiki dan menyidik kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah daerah sebaiknya tidak diperlukan.
Permintaan izin kepada presiden itu dinilai dapat menyita waktu,atau menghambat proses penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi.
Demikian disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution di Jakarta, Kamis (10/11/2011). "Kami maunya seperti itu," kata Saud ketika ditanya apakah ketentuan mengenai permintaan izin kepada presiden itu perlu direvisi.
Menurut Saud, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ada ketentuan bahwa penyidik perlu meminta izin tertulis kepada Presiden dalam menyelidiki dan menyidik kepala daerah atau wakil kepala daerah. "Ini yang membuat proses lama," katanya.
Selain itu, menurut Saud, hal lain yang kurang mendukung kinerja Polri menangani kasus-kasus korupsi adalah anggaran penanganan kasus yang masih kecil. Anggaran penanganan satu kasus atau perkara korupsi di Polri rata-rata Rp 37 juta per kasus atau perkara.
"Anggaran penanganan kasus korupsi di Polri sekitar Rp 37 juta per kasus," kata Saud.
Sebagai perbandingan, anggaran penanganan kasus korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi sebesar Rp 400 juta per kasus. (kcm)