Meski begitu, dalam keterangan pada Jumat 8 Mei 2015, Sri Sultan tetap berkeyakinan bila titah itu memang sudah sepatutnya ia terbitkan.
Layaknya wahyu, sabda itu pun tak bisa dibantah, ditawar ataupun dinegosiasikan. Bahkan, Sultan sendiri mengaku tak memahami apa dampak dari sabda yang diucapkannya.
"Saya sekadar melaksanakan kewajiban karena Eyang leluhur mengatakan, bahwa ini perintah Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Sultan, Jumat 8 Mei 2015.
Wahyu Tuhan dalam internal keraton, sejak lampau memang menjadi kiblat bagi para raja dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana jadinya pengangkatan para raja yang juga berdasarkan bisikan arwah.
Dasar serupa ini juga yang kemudian ikut menjadi landasan keputusan Sultan menerbitkan keputusan menunjuk putrinya sebagai putri mahkota. Dan kemudian mengganti nama anak sulungnya itu menjadi Dusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
"Kewajiban saya hanya menetapkan Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, ya sudah saya lakukan. Untuk apa itu (Jadi pengganti raja atau tidak) saya tidak tahu. Saya cuma menetapkan. Jika saya melangkah lebih jauh, berarti itu kepentingan saya," ujar Sultan.
Isyarat kepatuhan Sultan atas bisikan leluhur itu terlihat jelas. Sebab, sekalipun ia tak memahami bagaimana dampak dari sabda yang telah dititahkannya di lingkungan keraton, Sultan mengaku takut akan menerima risiko yang lebih besar bila sabda itu tak dititahkan.
Sultan hanya berharap, apa yang sudah dititahkan yang diyakini sebagai pesan Tuhan yang disampaikan oleh arwah leluhur tersebut tidak cuma difahami dengan logika berpikir saja. Namun, sekali lagi, ibarat wahyu suci, dawuh raja itu harus difahami dengan hati dan keyakinan akan kebenarannya.
"Memahami sabda raja itu tidak hanya dengan otak tapi dengan hati. Karena orang Jawa itu memahami dalam hati. (Maka) Jalannya akan terang-terang saja nanti," katanya.
"(Jadi) Jangan punya pendapat sendiri. Saya cuma melaksanakan." tegasnya. (viva)