Para politisi pendukung RUU ini beralasan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat selama ini menimbulkan ongkos politik yang sangat mahal bagi para kandidat. Selain itu pemilihan langsung ini tidak menjamin terhentinya politik uang, bahkan dipandang turut menyuburkan praktik negatif itu. Namun, bagi banyak pihak, RUU ini juga dipandang mencederai cita-cita reformasi. Sebagian hak rakyat dipasung, terutama dalam memilih langsung pemimpin mereka di tingkat daerah.
Selain itu, mengembalikan mandat kepada DPRD untuk memilih pemimpin daerah - seperti yang terjadi di era Orde Baru - justru malah membangkitkan kembali sindikasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di kalangan legislatif dan eksekutif yang mereka pilih. Apalagi saat ini tengah marak kasus korupsi yang menjerat para wakil rakyat dan pejabat pemerintah yang mereka dukung.
Mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD itu tercantum dalam draft RUU Bagian Ketujuh Pasal 24 yang mengatur pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil pemilihan. Berikut bunyi pasal 24 seperti dikutip dari situs resmi DPR yang beralamat di www.dpr.go.id:
(1) Pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil pemilihan, dalam pemilihan gubernur dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi.
(2) Pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah penyampaian visi, misi dan program dalam hari yang sama.
Fraksi Pendukung dan Penentang
Ketua Panja Panitia Kerja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja, mengakui kuatnya pro dan kontra dalam perumusan revisi UU itu. Ia memperkirakan keputusan pengesahan RUU Pilkada menggunakan mekanisme voting. "Kami belum tahu siapa yang menang," kata Hakam di Gedung DPR, Jakarta, Senin 8 September 2014.
Politisi Partai Amanat Nasional ini mengakui kekuatan partai yang pro pengesahan RUU saat ini masih dominan. Menurutnya Koalisi Merah Putih yang pada pemilihan presiden 2014 lalu mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, kompak mendukung pemilihan kepala daerah tak langsung.
Partai pendukung terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, dan PAN. Sedangkan partai yang menolak pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hati Nurani Rakyat. Namun Hakam menambahkan posisi kekuatan itu bisa saja berubah. "Itu kan posisi tiga pekan lalu pada rapat. Rapat besok akan saya tanya lagi," ujarnya.
Hakam juga sudah mendapat masukan dari banyak pihak terkait RUU Pilkada. "Aspirasi ini disampaikan dari masyarakat dan aktivis. Kami akan menyampaikan ke fraksi-fraksi dan pemerintah," katanya. Panja, menurut Hakam, akan kembali menggelar rapat, pekan depan. Ia berharap pada rapat terakhir, masing-masing fraksi menyampaikan sikap akhirnya, sebelum dibawa ke rapat kerja dan disahkan di rapat paripurna.
Bila voting terjadi, sesuai dengan data di Komisi Pemilihan Umum, kekuatan partai penentang adalah Fraksi PDIP dengan 93 kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dengan 27 kursi dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat yang memiliki 17 kursi. Sedangkan fraksi yang mendukung adalah Golkar dengan 103 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dengan 37 kursi, Partai Amanat Nasional dengan 45 kursi, Partai Keadilan Sejahtera dengan 57, Partai Demokrat dengan 145 kursi dan Gerindra yang memiliki 25 kursi di DPR.
Argumentasi Fraksi Pendukung
Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq menjelaskan posisi fraksinya yang memilih opsi pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. "Pilkada langsung yang selama ini berjalan adalah high cost democracy," kata Mahfudz di Jakarta, Senin 8 September 2014. Baginya pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPRD justru sejalan dengan visi misi KPK dalam mencegah terjadinya praktik korupsi.
Namun ia menyadari kemungkinan politik uang di DPRD dalam pemilihan kepala daerah masih rawan penyimpangan. Untuk mencegahnya, dia mengusulkan agar ditambah ketentuan guna mengantisipasi celah itu. "Harus dibuat mekanisme yang meminimalkan politik uang di tingkat DPRD," ujarnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, mengatakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan menghemat biaya sangat besar. Penghematan ini baginya sangatlah penting, karena bisa dialihakan pada berbagai program nyata. "Kita sudah hitung soal anggaran, itu bisa hemat kurang lebih Rp41 triliun," katanya di Gedung DPR, Jakarta, Senin 8 September 2014.
Perhitungan penghematan menurutnya berdasarkan acuan pemilihan kepala daerah setingkat bupati atau wali kota yang bisa menghabiskan anggaran kira-kira sebesar Rp200 miliar. Sementara untuk pemilihan gubernur di tingkat provinsi anggaran naik hingga sekitar Rp500 miliar. Jumlah itu dikalikan dengan 524 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia beserta 33 provinsi yang ada di tanah air.
Khatibul yang juga Wakil Ketua komisi II DPR berpendapat uang sebesar itu untuk pemilihan kepala daerah langsung juga tidak menjamin menghasilkan pemimpin yang amanah. Hal itu menurutnya terbukti dengan banyaknya kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi.
Ia menambahkan praktik politik uang justru akan marak jika pilkada digelar secara langsung. Menurutnya para calon kepala daerah berlomba-lomba merebut hati pemilih dengan cara iming-iming uang untuk meraih suara. "Rakyat bukan memilih kepala daerah yang terbaik, tapi calon kepala daerah yang terbanyak materinya," ujarnya.
Argumentasi Fraksi Penentang
Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDIP Pramono Anung mengatakan RUU Pilkada yang menjadikan pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung menjadi sangat berbahaya. Bila dipaksakan menurutnya RUU itu akan menuai banyak kecaman. "Publik pasti menolak. Jadi, kalau ada upaya penolakan itu tanpa PDIP mengajukan ke MK, saya yakin masyarakat akan berbondong-bondong mengajukan judicial review," katanya di gedung DPR, Jakarta, Senin 8 September 2014.
Menurut Pram, pemilihan kepala daerah secara langsung sudah tepat. Menurutnya, kondisi Indonesia yang multi kultur dengan wilayah yang sangat luas menjadikan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi kehendak rakyat. RUU Pilkada menurutnya hanya kepentingan sesaat dari kelompok tertentu. Ia mengingatkam masyarakat bisa menilai semua upaya di balik penggodokan RUU Pilkada, dimana ke depan kepala daerah dipilih oleh DPRD.
"Saya yakin rakyat akan mencatat, partai yang kemudian bolak-balik beralih sistem hanya untuk kepentingan politik jangka pendek saja," ujarnya. Ia melihat penggodokan RUU Pilkada ini dengan alasan pragmatis. "Ini kan menunjukan bahwa kita seperti kembali ke zaman jadul. Kalau kemudian sistem pemilihan dikembalikan ke DPRD, kan menunjukan kemunduran," katanya.
Menurut Pram, pemilihan langsung melahirkan pemimpin-pemimpin dari semua partai yang betul-betul merakyat dan terbukti mempunyai kinerja yang baik. "Contoh Jokowi (Joko Widodo), Risma (Tri Rismaharini), Ridwan Kamil, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) dan lainnya. Hampir semua partai mempunyai tokoh dan dilahirkan oleh rakyatnya," ujarnya.
Efektivitas Pilkada
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia, Refly Harun, mengatakan alasan pengesahan RUU Pilkada dari pemilihan langsung menjadi tidak langsung adalah usulan yang tidak logis. Apalagi bila Komisi II DPR menjadikan biaya sebagai alasannya. "Ini bukan efiesiensi tapi efektifitas, untuk betul betul tegakkan kedaulatan rakyat. Kalau masalah biaya, banyak cara menghemat penyelengaraan itu," katanya usai beraudensi dengan Komisi II DPR di komplek parlemen, Jakarta, Senin 8 September 2014.
Ia menjelaskan biaya terbesar dalam penyelengaran Pilkada adalah honor petugas. Menurutnya hal itu bisa disiasati dengan banyak aturan tanpa perlu mengubah substansi pemilihan yang dilakukan secara langsung.
Terkait ketakutan pemerintah dan Komisi II akan konflik yang terjadi saat pemilihan kepala daerah, menurut Refly alasan itu juga tidak logis. Baginya alasan itu hanya upaya mencari pembenaran. "Saya tidak yakin konflik itu permanen. Itu elite saja sebenarnya. Kalau legowo, mau beri statemen pada pendukung, saya yakin tidak ada konflik horizontal dari pendukung. Ada kedewasaan berpolitik dari masyarakat kita," ujarnya.
Baginya sistem dan sikap dari para poltisi yang harus dipertegas. Bukan mekanisme pemilihannya yang diubah. "Dipilih DPRD juga akan ada gerakan di akar rumput. Demo dan bakar bakaran juga tetap bisa terjadi," katanya. Menurut Refly pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pilihan yang terbaik dalam demokrasi. "Tren positif pemilihan kepala daerah langsung menghasilkan pemimpin nasional yang merepresentasikan kehendak masyarakat," ujarnya.
Ketakutan Partai Pendukung
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bersama mitra koalisi pendukung petisi "Tolak Pilkada Tak Langsung," Senin 8 September 2014, melakukan audiensi dengan Panja RUU Pilkada di ruang rapat Badan Urusan Rumah Tangga Komisi II DPR. Audiensi ini mendesak DPR untuk menolak opsi pilkada tak langsung. "Pendukung kepala daerah dipilih DPRD adalah partai politik penakut. Partai yang menghendaki kepala daerah dipilih DPRD mempunyai empat ketakutan," kata Deputi JPRR, Maskurudin.
Ketakutan pertama adalah takut dekat dengan pemilih. Pilkada langsung adalah kesempatan besar partai di tingkat lokal untuk saling mendekatkan dalam komunikasi politik dengan pemilih. Masa kampanye dalam ?pilkada, menurutnya, adalah masa-masa penting dimana parpol membuktikan kedekatannya dengan pemilih. "Dengan mengembalikan Pilkada ke DPRD, partai takut akan sikap kritis pemilih yang cerdas dalam menentukan pilihan politiknya," ujarnya.
Ketakutan kedua adalah partai politik takut dievaluasi. Pada level eksekutif menurut Maskurudin adalah hak pemilih untuk memberikan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan. Bila pemilih menilai selama kepemimpinan petahana dipandang buruk, maka adalah hak pemilih untuk tidak lagi memilih calon dari partai yang mengusung petahana. "Dengan mengembalikan pilkada ke DPRD, berarti partai takut akan adanya evaluasi publik atas kinerja pemerintahan kepala daerah yang diusungnya," katanya.
Ketakutan ketiga adalah partai politik takut menjadi partai terbuka. Dalam pilkada langsung, menurut Maskurudin aspek keterbukaan dari partai menjadi salah satu kunci kemenangan. Semakin partai membuka diri terhadap proses pencalonan yang menyerap aspirasi maka semakin membuka peluang menang. "Bila pilkada kembali ke DPRD, maka partai ketakutan terhadap apa yang terjadi di internal partai politik, yang sesungguhnya adalah lembaga publik," ujarnya.
Ketakutan keempat adalah partai politik takut dipantau. Dalam proses Pilkada langsung, menurutnya elemen organisasi masyarakat sipil mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Kontrak-kontrak politik yang dibangun antara pemilih dengan calon yang didukung partai adalah bagian penting untuk membangun akuntabilitas pemerintahan.
"Bila pilkada kembali ke DPRD, maka partai politik ketakutan terhadap pemantauan kinerja pemerintahan dari elemen masyarakat sipil," lanjut Maskurudin. (viva)