Mulai pukul 20.00, mereka terlihat mejeng di pinggir jalan. Mata mereka melirik nakal pada laki-laki yang melintas. Kadang celetukan genit terdengar memanggil laki-laki yang lewat tadi. Rata-rata, mereka masih berusia muda antara 20-30 tahun.
Selain yang menunggu “klien” dengan memakai sepeda motor, terdapat pula wanita yang hanya berdiri tanpa motor. Dengan dandanan menor mereka akan selalu tersenyum nakal kepada laki-laki yang lalu lalang di depannya. Jika ada yang menghampiri, terjadi transaksi. Maka, mereka akan meluncur ke losmen, atau penginapan terdekat yang murah meriah, untuk short time sekitar 30 menit hanya Rp35 ribu.
Sekilas, perilaku PSK itu normal saja seperti yang lain, ketemu laki-laki hidung belang lalu ke hotel. Tapi ternyata, yang mengejutkan, PSK itu diantar suaminya mangkal di pinggir jalan. Biasanya, suaminya itu menunggu di depan hotel sambil membawa motor.
“Suaminya dari rumah mengantar PSK itu ke pinggir jalan, lalu menunggu di hotel. Tujuannya, mengontrol berapa kali istrinya di-booking lelaki hidung belang. Jadi, setoran ke suaminya sesuai jumlah tamu istrinya. PSK seperti ini, istilahnya angon bebek, atau menggembala bebek,” ujar Mali, karyawan salah satu hotel di sekitar stasiun Poncol, Semarang Utara.
Sepengetahuan dia, satu PSK semalam bisa melayani rata-rata 4-5 tamu. Apalagi, yang muda dan berwajah cantik bisa sampai 6-7 kali. Tarifnya antara Rp100 ribu, atau Rp150 ribu. Bahkan, jika sudah terpaksa sampai larut malam dan tidak laku, mereka bisa obral.
Mereka biasanya tidak lama di kamar hotel cuma 15-30 menit. Sehingga, tidak sampai tengah malam suaminya mengantar pulang lagi.
Mereka pacar atau suami? Menurut dia, mereka suami istri yang punya anak. Biasanya, mereka kos tidak jauh dari lokasi istrinya mangkal. Mereka kos, karena secara ekonomi tidak kuat untuk membeli rumah. Kos mereka juga sederhana sekadar kamar untuk tidur.
Ada Tukiman
Jika di Kota Semarang ada "angon bebek", di Kabupaten Semarang muncul istilah Tukiman. Disinyalir Sejumlah perempuan pekerja seks komersial (PSK) di Bandungan, Ungaran, Jawa Tengah, yang indekos di beberapa hotel kelas melati, biasanya hidup dengan laki-laki yang menjadi pelindungnya.
Laki-laki tersebut bukan suami, mereka dikenal dengan istilah Tukiman. Akronim Bahasa Jawa dari tiga suku kata, yaitu turu (tidur), laki (bercinta), dan mangan (makan). Tidak ada yang dikerjakan oleh para Tukiman, selain tiga hal itu. Semua kebutuhannya telah dipenuhi oleh PSK yang menjadi pasangannya.
Hampir sama dengan angon bebek, salah satu syarat mutlak berpasangan dengan PSK sebagai Tukiman adalah pengertian yang tidak berbatas. Ketika tamu datang, sering eksekusi juga dilakukan di kamar yang mereka sewa sebagai indekos.
Mereka tinggal di hotel bersama Tukiman. Ketika ada tamu, PSK juga melayani di kamar yang mereka sewa.
Tukimannya biasanya laki-laki sebaya, tetapi bisa juga laki-laki yang lebih dewasa. Mereka berasal dari luar daerah Bandungan, bahkan ada juga beberapa tukiman dari luar negeri misal Belanda dan ada dari Perancis.
Fenomena tukiman ini marak setelah diketahui belasan hotel di Bandungan beralih fungsi menjadi kos-kosan para perempuan pekerja seks komersial. Sebagian besar hotel yang beralih fungsi itu adalah hotel-hotel kelas melati. (viva)